Sederhana saja, mencoba meninjau kembali cara-cara berkomunikasi seperti apa yang cukup tepat untuk dilakukan pada saat-saat darurat. Setidaknya ada tiga
prinsip komunikasi yang bisa terjadi:
1. point to point
Komunikasi di sini berlangsung dua arah antara satu dengan satu yang lain. Masing-masing, antara pengirim pesan dan penerima pesan harus menggunakan sarana dan
medium yang sama. Misal, pembicaraan antara dua orang secara langsung (tatap muka), memakai telepon, atau HP. Isi komunikasi yang terjadi pun sangat tertutup.
Pihak di luar kedua orang itu akan sangat terbatas aksesnya terhadap informasi yang dikomunikasikan. Kalaupun setelah itu keduanya mengomunikasikan hal-hal
yang dibahas sebelumnya kepada khalayaknya/ orang lain, ada kemungkinan terjadi bias, penambahan, serta pengurangan informasi yang disebarluaskan
2. point to multipoint
Komunikasi di sini berlangsung dari satu pihak dan diteruskan hingga bisa dicandra oleh banyak orang. Gambarannya seperti orang ceramah, suara kentongan, siaran radio, dan televisi. Informasi yang tersiar bisa tersampaikan langsung kepada lebih banyak orang. Namun, model ini merupakan komunikasi satu arah. Termasuk ketika sesi interaktif dilangsungkan, ketika penikmat siaran radio atau televisi bisa menyampaikan pesan yang bisa disebarluaskan melalui media tersebut, komunikasi yang terjadi dengan khalayak penyandra media tersebut tetap berlangsung satu arah.
3. multipoint to multipoint
Komunikasi di sini berlangsung antara beberapa pihak secara bersama-sama. Gampangnya seperti ngobrol bareng. Sumber informasi bisa dari siapapun dan bisa dicandra oleh siapapun juga. Oleh karenanya, data dan informasi yang terkemas dan tersebar akan segera terverifikasi dan tervalidasi. Komunikasi model ini misalnya berlangsung melalui forum langsung (tatap muka), radio komunikasi (Rig, HT), conference instant messenger. semua jelas memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Maka dari itu, dipilihlah istilah
“tepat guna” untuk memilih model komunikasi seperti apa yang bisa dibangun untuk menanggapi
situasi darurat. Dari obrolan dengan Mz Nasir, deputi
direktur kantorku, terpetakanlah tiga model komunikasi
di atas. Itu semua berangkat dari beberapa kasus dan
pengalaman yang kebetulan sudah dia dan kami alami.
Dan ternyata, canggih belum tentu bisa menjawab apa
yang sebenarnya kita butuhkan.
Beberapa bulan lalu kami dimintai tolong oleh
valunter untuk memfasilitasi pendirian radio komunitas
di kawasan bencana.Kawasan ketika semua jalur encom
putus maka cara tepat dan emergency lewat kumunikasi
freqwensi barulah bila kondisi memungkinkan kita juga
mengunakan hp.
Ketika ditanya dengan apa biasanya mereka
berkomunikasi satu sama lain. Mereka bilang dengan
mantap, “Jelas pakai HP, donk!”. Memang, HP di
kawasan ini sudah cukup tersebar merata dimiliki
penduduk hingga pelosok kawasan sekalipun. Bisa
dibilang, dari 10 KK, 8 KK pasti memiliki alat
komunikasi HP. Intensitas pemakaiannya pun tergolong
cukup tinggi, ratusan ribu hingga satu juta rupiah
sebulan untuk biaya pulsa. Tak ketinggalan ketika
mereka meronda, komunikasi pun dilakukan dengan
memakai HP. “Lalu, bagaimana jika situasinya
genting?”. Mereka hanya punya HP dan jelas harus
menelepon satu per satu ketika terjadi peristiwa
penting, seperti ancaman serangan gajah, termasuk
untuk koordinasi.
Ketika ditanya, “Kenapa tidak memakai radio
komunikasi, HT?”. Penampilan HT yang berukuran besar
menjadi masalah. Gampangnya, mending pakai HP saja,
lebih cepat. Namun, apakah benar bisa lebih cepat.
Mungkin juga karena hampir setiap orang memegang HP
dan bisa langsung mengontak yang lain ketika
diperlukan. Namun, apakah cukup efisien untuk
koordinasi yang lebih luas, dan cepat? Dengan HP,
masing-masing orang harus menelepon atau meng-SMS
orang satu per satu. Dengan menelepon, pembicaraan
hanya bisa terjadi di antara dua orang. Dengan SMS,
orang harus menunggu jawaban, tidak serta merta.
Hanya ada tiga HT pascagempa Sumatera
Bumi bergoyang di pesisir selatan Sumatera pada 12-13
September 2007 lalu, dan masih disusul dengan sejumlah
rangkaian gempa yang setara. Bahkan hingga saat
tulisan ini ditulis, baru saja terjadi gempa lagi
Painan, Sumatera Barat. Cukup besar, 5.2 skala
Richter. Muko-Muko, Bengkulu Utara menjadi tempat
pertama yang bisa dijangkau oleh tim, yang datang
untuk mengaktifkan akses internet di lokasi bencana
agar koordinasi bisa terbantu. Namun, tak tahu harus
bilang apa ketika melihat situasi di lapangan, hanya
ada 3 HT untuk kawasan satu kabupaten itu.
Penduduk setempat sudah mengungsi ke daerah perbukitan
di pedalaman, jauh dari pantai. Radius lima
pengungsian besar sekitar 15 km dari pusat kota
Muko-Muko. Posko Mediacenter yang didirikan di
Muko-Muko dan terakses dengan internet menjadi
satu-satunya sumber informasi gempa. Semua pihak ;
aparat dan warga, mengacu pada data BMG yang bisa
diakses dengan cepat di posko ini. Aparat
menyebarkannya dengan HP GSM masing-masing, yang juga
digunakan untuk koordinasi. Sementara, warga harus
bolak-balik kota dan pengungsian jika ingin melihat
data dan informasi gempa terbaru. Dan gempa susulan
pun masih susul-menyusul.
Sebagian warga masih ada yang bertahan di permukiman
mereka, tetapi tidak ada yang berani tinggal di dalam
rumah. Mereka memasang tenda di halaman rumah
masing-masing. Listrik pascagempa masih bisa menyala,
walaupun hanya beberapa jam saja sehari. Satu-satunya
sumber informasi yang mereka bisa akses adalah
televisi. Ketika gempa datang dan bantuan belum tiba,
mereka pun tak tahu apa pun, karena televisi itu hanya
menyiarkan informasi umum skala nasional. TV tak
selalu tahu apa yang terjadi di daerah mereka.
Padahal, informasi gempa diperlukan setiap saat di
lokal tersebut.
Darurat; perlu cepat, murah, merata, dan lokal
Sebelum membangun sistem informasi untuk penanganan
situasi darurat, kita memang harus tahu lebih dahulu
esensi dari situasi darurat, yaitu keadaan genting
yang memerlukan penanganan secepatnya. Ketika situasi
darurat terjadi, komunikasi yang baik sangat
diperlukan agar penanganan yang dilakukan bisa
efektif. Jika tidak maka yang terjadi adalah kekacauan
karena setiaporang bertindak berdasarkan versi
informasi yang ia dapat. Tak ada waktu banyak untuk
memverifikasi dan memvalidasi informasi yang didapat.
Begitu mendengar kabar ada air datang, semua lari naik
ke bukit, ternyata tidak terjadi tsunami dan mereka
kembali pulang. Begitu berulang-ulang. Cyape' de...
Jadi ingat ketika gempa terjadi di Yogya setahun yang
lalu. Semua panik mendengar kabar air laut naik ke
daratan. Ribuan orang lari ke utara, bahkan ada yang
hingga ke kaki gunung. Orang daerah lain yang
sebenarnya tinggal di kawasan perbukitanpun ada yang
lari mencari gunung untuk didaki. Mz Nasir punya
pengalaman, ketika itu dia cuma berusaha langsung
mencari informasi di mana pusat gempa. Begitu tahu
pusat gempa ada di selatan, paling tidak dia sudah
tahu akan menghindar ke arah mana jika terjadi hal
yang lebih buruk. Lebih jauh dari itu, informasi dari
berbagai sumber, terutama radio siaran tetap dipantau.
Kabar bahwa air di pantai selatan tak naik bisa
diketahui dan tak perlu panik karenanya. Langsung saja
radio di mobil diputar keras-keras agar orang-orang
yang berkumpul di sekitarnya dengan panik bisa ikut
mendengarkan kabar itu tanpa kemudian terus panik.
Temen-temen tim lain yang saat gempa di Yogya
kebetulan membawa HT pun juga terus memantau kabar dan
menyebarkan ke orang-orang di sekitarnya bahwa air tak
naik. Sekali rengkuh, banyak orang langsung tahu
informasi.
Memetakan Kebutuhan, Menentukan Media
Dari pengalaman-pengalam an itulah kemudian
terpetakanlah model-model komunikasi yang bisa
dikembangkan menghadapi situasi dan kondisi darurat.
Semua model bisa direncanakan jika kita sudah bisa
memetakan keadaan wilayah dan kebutuhan. Memang pada
saat ini sudah ada banyak media berteknologi canggih
yang bertebaran dan mudah diakses masyarakat, seperti
HP, telepon, hingga komputer terkoneksi internet.
Namun, untuk menghadapi skenario darurat maka kita pun
harus siap dengan skenario terburuk pula. Di masa
“tenang” kita bisa puas dengan komunikasi via HP
dan komputer terkoneksi internet, yg murah, cepat, dan
canggih. Namun, yang canggih ini belum tentu tepat
digunakan pada situasi darurat.
Pada intinya, semua infrastruktur setiap model
komunikasi yang ada idealnya bisa dipersiapkan sejak
awal. Model komunikasi point to point yang intensif
pada situasi darurat jelas hanya akan efektif di
tataran penentu kebijakan. Namun, komunikasi point to
point tidak efektif digunakan untuk komunikasi dalam
sistem peringatan dini. Sama sekali tidak efisien dan
mahal. Bayangkan jika harus menelepon satu per satu
orang untuk memperingatkan bahwa dalam beberapa menit
akan datang tsnumai menerjang kota.
Model komunikasi point to multipoint akan baik
digunakan untuk menyebarluaskan informasi kepada
khalayak. Komunikasi yang terbangun memang searah,
tetapi akan ada lebih banyak penerima pesan yang bisa
menangkap pesan. Sesuai karakternya sebagai media
siaran, penyebarluas tanda, model komunikasi ini
sangat kuat pada fungsi pemberitahuan semata;
mengumumkan bahwa telah terjadi kondisi tertentu yang
menuntut tindakan tertentu. Model komunikasi ini tidak
cukup intensif untuk mendukung koordinasi di lapangan,
terutama jika dihadapkan dengan sistem peringatan
dini.
Model komunikasi yang akan cukup efektif digunakan
pada situasi darurat dan memenuhi fungsi koordinasi
adalah model komunikasi multipoint to multipoint. Di
sini, pengirim dan penerima pesan adalah jamak, dan
juga serentak, satu waktu. Informasi yang tersebarkan
secara otomatis bisa langsung terverifikasi dan
tervalidasi karena komunikasi bisa berjalan dua arah.
Setiap point yang terlibat di sini pada akhirnya
menjadi access point untuk model komunikasi point to
multipoint atau point to point di wilayahnya
masing-masing. Tak menutup kemungkinan pula, dari
masing-masing point yang terlibat, bisa meneruskannya
ke model komunikasi multipoint to multipoint lainnya.
Di sini, sarana berupa internet dan radio komunikasi
(HT) menjadi pilihan. Namun, di situasi darurat
tampaknya tidak bisa terlalu mengharapkan keberadaan
koneksi internet yang tentu saja membutuhkan prasyarat
keberadaan infrastruktur yang lebih banyak. Jaringan
telepon, antenna, hingga infrastruktur internet
service provider lainnya sangat mungkin juga terkena
imbas bencana; rusak. Belum lagi ketika listrik padam.
Walaupun bisa menghidupkan komputer dengan tenaga
listrik dari generator, belum tentu bisa terkoneksi
dengan internet karena dengan GPRS pun belum tentu
bisa memperoleh sinyal. Dalam kondisi terburuk, paling
tidak harus ada akses langsung ke satelit dengan VSAT
(Very Small Aperture Terminal).
Membangun sistem informasi yang terpadu dan mengakar
Namun, pada dasarnya di sini tidak mencoba menghakimi
model komunikasi mana yang lebih baik daripada yang
lain. Sesuai dengan tujuannya, memetakan, maka di sini
hanya mencoba memilahnya sesuai dengan fungsi yang
tepat. Secara umum, semua model komunikasi itu bisa
digunakan dan bisa saling mendukung jika digunakan
pada konteks yang tepat.
Pada saat ini tim aku dan beberapa kawan lain
kebetulan sedang membangun sebuah sistem informasi
darurat untuk kondisi pascabencana (walaupun belum
bisa dipastikan apakah ini sudah berakhir) di
Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. maka muncul tim
tim lain yang membangun infrastruktur penyedia koneksi
internet dengan menggunakan VSAT. Sebuah media center
di lokasi bencana dibangun dan di situ data-data gempa
terkini dan informasi peringatan dini lainnya bisa
diakses. Piranti lunak yang dikembangkan sebagai
sistem peringatan dini dengan mengacu pada data Badan
Meteorologi dan Geofisika (BMG) pun menjadi acuan
warga dan aparat setempat untuk mengambil tindakan
yang tepat jika diperlukan.
Konvergensi Radio Komunitas, Transceiver VHF, SMS
Gateway, dan internet
Sistem canggih itu tak akan ada artinya jika hanya
berhenti sampai di situ. Media center hanya bisa
dibangun di satu atau dua lokasi saja karena
keterbatasan alat yang jauh dari murah itu. Alhasil,
masyarakat yang jauh dari media center pun bisa-bisa
tidak tahu apa-apa mengenai itu semua. Jika memaksakan
mau memakai komunikasi point to point dengan
menggunakan HP, sekali lagi tidak efektif, mahal, dan
belum tentu ada sinyal layanan selular di setiap
pelosok wilayah. Oleh karena itu, tim yang lain
membangun sistem informasi dan komunikasi dengan
menggunakan radio siaran serta radio komunikasi. Radio
komunitas atau radio siaran swasta yang ada di lokasi
bencana dihidupkan sebagai access point penyebarluas
informasi darurat. Studio radio bisa dihidupkan dengan
tenaga listrik dari generator jika listrik padam.
Sementara, pesawat radio penerima bisa cukup
menggunakan baterai dan bisa dipantau oleh masyarakat
sewaktu-waktu. Prinsip point to point lain, sekaligus
point to many (jika dihubungkan ke website), adalah
pemakaian sistem SMS gateway. Warga bisa mengirimkan
SMS untuk memberi informasi atau meminta informasi ke
posko. Pesan-pesan SMS itu juga bisa tertampilkan di
layar website.
Cara lain yang ditempuh adalah dengan menggunakan
radio komunikasi, berupa RIG atau HT. Peralatan
tersebut digunakan pula untuk menyebarluaskan
informasi darurat, sekaligus sebagai sarana
koordinasi. Koordinasi di sini bisa berupa koordinasi
untuk peringatan dini dan evakuasi. Tetapi, koordinasi
juga bisa dilakukan untuk kepentingan distribusi
bantuan. Alat yang diperlukan tidaklah terlalu mahal
jika dibandingkan dengan saraan komunikasi yang lain.
Bahkan sangat mudah dihidupkan hanya dengan
menggunakan tenaga listrik dari generator untuk RIG
dan baterai untuk HT. Setelah itu, komunikasi bisa
dilakukan setiap saat. Jika bermaksud agar jangkauan
komunikasi bisa lebih luas, cukup diakali dengan
antenna yang mencukupi kebutuhan. Di lapangan saat
ini, bahkan HT digunakan oleh tim kami dan pengelola
radio komunitas sebagai alat untuk melakukan wawancara
dengan warga dan disiarkan langsung melalui radio.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar