salam relawan...
Bantuan bencana gempa di Sumatra Barat atau di Jawa Barat ini masih lebih dominan terfokus pada persoalan-persoalan teknis lapangan, seperti bagaimana mengevakuasi warga, upaya membuat rumah tahan gempa, atau mendeteksi situasi gejala alam serta samudra melalui jaringan satelit.
Upaya-upaya itu memang sangat diperlukan. Sehingga, ketika bencana kembali datang tak terduga, masyarakat dan pemerintah tak lagi kelinglungan menghadapi situasi itu. Namun, sesungguhnya, ada problem yang lebih fundamental, yaitu respons pemerintah terhadap upaya pencegahan itu. Masalah pembentukan relawan bertaraf nasional mestinya juga harus menjadi perhatian serius sebab masalah relawan, khususnya di negara-negara maju, tetap dipersiapkan dan disiagakan meskipun tidak ada bencana.
Artinya, persiapan dini bukan berarti mempersiapkan hanya sebatas ketika akan terjadi bencana atau mempersiapkan dalam tenggat waktu yang sifatnya temporer. Dalam tataran itu, ketika bencana sudah lama tidak datang, bukan berarti persiapan itu lantas ditiadakan. Seharusnya, yang dimaksud persiapan dini terus bersifat kontinu, bahkan mestinya distrukturkan menjadi sebentuk kelembagaan yang permanen.
Salah satu masalah fundamental dalam upaya pencegahan dini adalah bagaimana pemerintah membentuk struktur kelembagaan tentang relawan nasional.
Tugas relawan, seperti juga yang dikembangkan di negara-negara maju, tak hanya bertugas pada masalah-masalah praktis, seperti bertugas mengevakuasi di daerah yang terkena bencana atau merestrukturasi bangunan-bangunan yang hancur. Namun, tugasnya diperluas dalam bentuk memberi bantuan pada bidang pendidikan, masalah medis, informasi, keterampilan, dan sebagainya.
Di Australia, menurut laporan Peter Britton, seorang manajer senior di Australian Volunteer International, telah dikembangkan dunia relawan semenjak dekade 50-an. Saat ini, bidang volunteerism sudah sangat mapan dan bersifat permanen, bahkan go international. Lebih dari 5.000 relawan dari Australia pada tahun 80-90-an pernah disebarkan ke negara-negara, seperti Afrika, kepulauan di Pasifik, Amerika Latin, Timur Tengah, atau pada suku asli Australia, yang membutuhkan bantuan pertolongan dalam bidang medis dan kesehatan, pendidikan dan pengajaran, teknologi informasi, keterampilan sosial, serta pertanian.
Para relawan itu bekerja, baik untuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, untuk masyarakat sipil (LSM), maupun pihak-pihak swasta. Mereka diambil dari berbagai kalangan yang memiliki idealisme dan tanggung jawab serta memiliki kepekaan (sensitivitas) pada masalah-masalah sosial. Mereka dibekali kemampuan atau mendapat pelatihan-pelatihan khusus dari lembaga yang menyelenggarakan relawan itu. Di Australia, dunia relawan tak hanya bagi kepentingan negara bangsa, namun dunia relawan juga diperuntukkan bagi negara-negara bangsa yang membutuhkannya dan dieksekusi dalam sebuah jaringan internasional volunteerism (Peter Britton, International Volunteerism and Global Survival, 2002).
Satu hal penting lagi, para relawan memiliki latar belakang komitmen pada keinginan dan kecintaan mereka untuk perdamaian. Dedikasi mereka ditujukan tak hanya bagi kepentingan negara itu sendiri, tapi lebih karena kepedulian untuk menolong sesama, belajar membina sensitivitas sosial, serta membuka hubungan dengan beragam etnik, budaya, dan sebagainya. Para relawan memberi kontribusi bagi pengembangan sebuah komunitas yang terkena bencana atau sebuah 'komunitas terbelakang' yang dilandasi kesetaraan hubungan kemanusiaan.
Dalam soal-soal hubungan kemanusiaan itu, kebijakan pemerintah di Indonesia jarang sekali menyentuh aspek yang spesifik, seperti apa yang terjadi di Australia dalam pengembangan relawan internasional. Di Indonesia, langkah yang paling memungkinkan pada masalah hubungan kemanusiaan itu biasanya sering dilakukan oleh lembaga-lembaga nonpemerintahan. LSM dalam hal itu tidak bekerja sama dengan pemerintah. Mereka lebih banyak berhubungan dengan pihak-pihak luar, baik dengan pemerintahnya maupun antar sesama.
Bahkan, yang terjadi di Indonesia, peranan LSM dapat dibilang kurang begitu harmonis dengan pemerintah. LSM kebanyakan menjadi pihak oposisi pada kebijakan-kebijakan pemerintah atau malah selangkah lebih maju daripada peranan pemerintah, khusunya dalam hal pembangunan hubungan sosial kemanusiaan dan pemberdayaan masyarakat. Hal demikian berbeda dengan yang terjadi di negara-negara lain, pemerintah seharusnya mengakomodasi LSM-LSM itu, mengayominya, atau bahkan mendonor dalam rangka membantu menyelesaikan problem-problem kebangsaan.
Di India dan Pakistan, relawan nasional bentukan LSM yang mengampanyekan bahaya HIV/AIDS dan bagaimana harus menghindarinya didukung oleh pihak-pihak lokal, baik pemerintah maupun lembaga donor lokal. Seorang aktivis dari Asian Resources Foundation, Thailand, Lekha Paireepinath, menyebut betapa esensialnya dunia relawan atas kelangsungan hidup kemanusiaan: bagi wanita yang sering terkena dampak patriarki sosial, anak-anak telantar, pengungsi bencana, atau perang yang terjadi dalam sebuah komunitas negara atau local area (Lekha Paireepinath, Volunteerism and Human Survival, 2002).
Memang jauh dari memadai jika persoalan kemanusiaan ditimpakan hanya kepada pemerintah atau hanya pada pihak-pihak nonpemerintah. Semestinya, pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau LSM-LSM yang beroperasi, baik di pusat maupun di daerah, bergerak dalam satu visi kemanusiaan demi kesejahteraan dan kecintaan.
Dalam hal itu, sudah saatnya Indonesia sebagai negara bangsa memiliki sistem yang mapan dalam soal relawan sebagaimana di negara Thailand, India, Pakistan, Australia, Jepang, Amerika, dan di negara-negara Eropa.
Departemen Sosial Republik Indonesia melalui Dit BSKBA Depsos RI telah membentuk Tagana yang merupakan satu kesatuan se indonesia, sebaiknya semua relawan bergabung di dalamnya karena Tagana sesuai dengan Peraturannya di bentuk untuk menghimpun para relawan dan diakui melalui pemberian insentif dan seragam.
Dunia relawan merupakan perimbangan atas terjadinya bencana dan disparitas sosial dalam masyarakat kurang beruntung dan daerah-daerah terpencil.
Indonesia bagaimanapun masih memiliki hampir semua problematik kemanusiaan, tak hanya bencana alam, tapi juga masih rentan konflik, problem sosial dari mulai anak-anak dan keluarga telantar, mewabahnya penyakit menular HIV/AIDS, dan sebagainya.
Semua itu menuntut upaya perbaikan lewat sebuah sistem yang terlembagakan dan diartikulasi oleh relawan-relawan kemanusiaan secara profesional, baik oleh pemerintah maupun non pemerintah.
Dengan jaringan relawan nasional itu, ketika kita melihat tragedi kemanusiaan, kita tidak lagi berpikir mengapa dan apa yang harus diperbuat dengan sebuah tanda tanya yang membingungkan.
Namun, saya berharap Tagana sudah selalu siap atas kemungkinan-kemungkinan terburuk akan semua fenomena baik yang sudah, sedang, dan belum terjadi.
salam Tagana.. Tim Kordinator Tagana Jawa timur By. Opered
Sabtu, Agustus 07, 2010
LATAR BELAKANG DI BENTUKNYA PRB
salam relawan...
Kegiatan pengurangan risiko bencana sebagaimana dimandatkan oleh Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana harus terintegrasi ke dalam program pembangunan, termasuk dalam sektor pendidikan. Ditegaskan pula dalam undang-undang tersebut bahwa pendidikan menjadi salah satu faktor penentu dalam kegiatan pengurangan risiko bencana.
salam Tagana.. Tim Kordinator Tagana Jawa timur By. Opered
Kegiatan pengurangan risiko bencana sebagaimana dimandatkan oleh Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana harus terintegrasi ke dalam program pembangunan, termasuk dalam sektor pendidikan. Ditegaskan pula dalam undang-undang tersebut bahwa pendidikan menjadi salah satu faktor penentu dalam kegiatan pengurangan risiko bencana.
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 23 tahun 2003, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengedalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Karena setiap orang harus mengambil peran dalam kegiatan pengurangan risiko bencana maka sekolah dan komunitas di dalamnya juga harus memulai mengenalkan materi-materi tentang kebencanaan sebagai bagian dari aktifitas pendidikan keseharian.
Usaha meningkatkan kesadaran adanya kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana, di dunia pendidikan harus dilaksakanakan baik pada taraf penentu kebijakan maupun pelaksana pendidikan di pusat dan daerah. Dengan harapan pada seluruh tingkatan memiliki pemahaman yang sama akan perlunya pendidikan kesiapsiagaan bencana tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka akan diselenggarakan Seminar Nasional Pengurangan Resiko Bencana.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka akan diselenggarakan Seminar Nasional Pengurangan Resiko Bencana.
Tujuan Seminar :
- Memberikan bekal pengetahuan kepada pendidik tentang adanya risiko bencana yang ada di lingkungan sekolah, berbagai macam jenis bencana, dan cara-cara mengantisipasi/mengurangi risiko yang ditimbulkannya.
- Memberikan keterampilan agar pendidik dan peserta didik mampu berperan aktif dalam pengurangan risiko bencana baik pada diri sendiri dan lingkungannya
- Memberikan bekal sikap mental yang positif tentang potensi bencana dan risiko yang mungkin ditimbulkan.
- Memberikan pengetahuan dan wawasan tentang bencana di Indonesia .
- Memberikan pemahaman kepada guru tentang bencana, dampak bencana, penyelamatan diri bila terjadi bencana.
- Memberikan keterampilan kepada guru dalam menyusun perencanaan, melaksanakan dan melakukan pendidikan bencana kepada siswa.
- Memberikan wawasan, pengetahuan dan pemahaman bagi pihak terkait, sehingga diharapkan dapat memberikan dukungan terhadap kelancaran pelaksanaan pembelajaran tentang bencana.
salam Tagana.. Tim Kordinator Tagana Jawa timur By. Opered
LANDASAN DAN PAYUNG HUKUM PRB
salam relawan...
ebijakan yang berkaitan dengan PRB di Cianjur khususnya, Umumnya di Indonesia yang paling tinggi adalah UU 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan selanjutnya di atur juga dalam PP no 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (PB). Selain itu dalam UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU no 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga tersirat perlunya upaya PRB (Pengurangan Risiko Bencana).
salam Tagana.. Tim Kordinator Tagana Jawa timur By. Opered
ebijakan yang berkaitan dengan PRB di Cianjur khususnya, Umumnya di Indonesia yang paling tinggi adalah UU 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan selanjutnya di atur juga dalam PP no 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (PB). Selain itu dalam UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU no 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga tersirat perlunya upaya PRB (Pengurangan Risiko Bencana).
Di Pasal 34 UU 24/2007 disebutkan bahwa Penyelenggaraan PB pada tahap Pra Bencana dibedakan atas (a) situasi tidak terjadi bencana, dan (b) situasi di mana terdapat potensi terjadinya bencana. Nah PRB itu merupakan salah satu penyelenggaraan PB pada tahap pra bencana di situasi tidak terjadi bencana.
Selanjutnya Pengurangan Risiko Bencana yaitu:
Dilakukan untuk mengurangi dampak buruk yang mungkin timbul, terutama dilakukan dalam situasi sedang tidak terjadi bencana (Pasal 37 UU No 24/2007), Merupakan kegiatan untuk mengurangi ancaman dan kerentanan serta meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghadapi bahaya (pasal 7 PP 21/2008)
Kegiatan meliputi (pasal 37 UU no 24/2007):- pengenalan dan pemantauan risiko bencana,- perencanaan partisipatif PB,- pengembangan budaya sadar bencana,- peningkatan komitmen terhadap pelaku PB, dan- penerapan upaya firik, nonfisik dan pengaturan PB, Komitmen Global Kerangka Aksi Hyogo (2005 – 2015) untuk PRB, dengan 5 wilayah prioritas yaitu:
(1) Memastikan PRB merupakan prioritas nasional dan lokal dengan dasar kelembagaan yang kuat;
(2) Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana dan meningkatkan peringatan dini; (3) Menggunakan pengetahuan, innovasi dan pendidikan untuk membangun budaya keselamatan dan ketahanan di semua tingkat;
(4) Mengurangi faktor-faktor risiko yang mendasari;
(5) Memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana demi respon yang efektif di semua tingkat¢ Untuk melakukan upaya PRB dilakukan penyusunan Rencana Aksi Pengurangan Risiko Bencana (pasal 8 PP 21/2008)¢ Rencana Aksi PRB terdiri dari:- Rencana Aksi Nasional (RAN) PRB- Rencana Aksi Daerah (RAD) PRB
¢ RAD PRB ditetapkan oleh Kepala BPBD setelah dikoordinasikan dengan instansi/ lembaga yang bertanggung jawab di bidang perencanaan pembangunan daerah
¢ RAD PRB disusun secara menyeluruh dan terpadu dalam suatu forum yang meliputi unsur dari Pemerintah, non-pemerintah, masyarakat, dan lembaga usaha yang dikoordinasikan oleh BPBD Pengarusutamaan PRB ke dalam pembangunan bisa dilihat dari pengintegrasian program dan kegiatan terkait PRB ke dalam RPJM atau RPJMD, RKP/ RKPD, misalnya:
a. penataan ruang (RTRW) dengan mempertimbangkan adanya ancaman bahaya dan analisis risiko bencana pada kawasan yang tercakup dalam RTRW tersebu;
b. Program pengentasan kemiskinan atau yang sekarang lagi ‘in’ yaitu PNPM yang bisa mengurangi kerentanan masyarakat juga merupakan salah satu pengarus utamaan PRB dalam pembangunan;
c. Contoh lain, misalnya program lingkungan hidup, program pengendalian banjir dll
d. Program pengembangan INA-TEWS (Tsunami Early Warning System) yang lagi dilakukan RISTEK juga bisa kita pertimbangkan sebagai salah satu pengarus utamaan PRB dalam pembangunan, walaupun TEWS ini lebih cenderung pada kegiatan untuk tujuan kesiap siagaan.
Semoga Bermanfaat
salam Tagana.. Tim Kordinator Tagana Jawa timur By. Opered
PRB DIMULAI DARI USIA DINI (SEKOLAH )
salam relawan...
Ketika terjadi bencana alam, anak-anaklah yang paling rentan terkena dampaknya. Terutama sekali jika pada saat kejadian, anak-anak sedang belajar di sekolah. Gempabumi di Pakistan pada bulan Oktober 2005 menyebabkan lebih dari 16 ribu anak-anak meninggal akibat runtuhnya gedung sekolah. Longsorlahan di Leyte, Philipina menewaskan lebih dari 200 anak sekolah. Dari dua contoh kejadian tadi, seharusnya kita berupaya melindungi anak-anak kita sebelum bencana terjadi.
Berdasarkan hasil Konferensi Sedunia tentang Pengurangan Resiko Bencana (World Conference on Disaster Reduction) yang diselenggarakan pada tanggal 18-22 Januari 2005 di Kobe, Hyogo, Jepang; dan dalam rangka mengadopsi Kerangka Kerja Aksi 2005-2015 dengan tema ‘Membangun Ketahanan Bangsa dan Komunitas Terhadap Bencana’ memberikan suatu kesempatan untuk menggalakkan suatu pendekatan yang strategis dan sistematis dalam meredam kerentanan dan resiko terhadap bahaya. Konferensi tersebut menekankan perlunya mengidentifikasi cara-cara untuk membangun ketahanan bangsa dan komunitas terhadap bencana.
Bencana dapat diredam secara berarti jika masyarakat mempunyai informasi yang cukup dan didorong pada budaya pencegahan dan ketahanan terhadap bencana, yang pada akhirnya memerlukan pencarian, pengumpulan, dan penyebaran pengetahuan dan informasi yang relevan tentang bahaya, kerentanan, dan kapasitas. Oleh karena itu diperlukan usaha-usaha antara lain: (1) menggalakkan dimasukkannya pengetahuan tentang pengurangan resiko bencana sebagai bagian yang relevan dalam kurikulum pendidikan di semua tingkat dan menggunakan jalur formal dan informal lainnya untuk menjangkau anak-anak muda dan anak-anak dengan informasi; menggalakkan integrasi pengurangan risiko bencana sebagai suatu elemen instrinsik dalam dekade 2005–2015 untuk Pendidikan bagi Pembangunan Berkelanjutan (United Nations Decade of Education for Sustainable Development); (2) menggalakkan pelaksanaan penjajagan resiko tingkat lokal dan program kesiapsiagaan terhadap bencana di sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lanjutan; (3) menggalakkan pelaksanaan program dan aktivitas di sekolah-sekolah untuk pembelajaran tentang bagaimana meminimalisir efek bahaya; (4) mengembangkan program pelatihan dan pembelajaran tentang pengurangan resiko bencana dengan sasaran sektor-sektor tertentu, misalnya: para perancang pembangunan, manajer tanggap darurat, pejabat pemerintah tingkat lokal, dan sebagainya; (5) menggalakkan inisiatif pelatihan berbasis masyarakat dengan mempertimbangkan peran tenaga sukarelawan sebagaimana mestinya untuk meningkatkan kapasitas lokal dalam melakukan mitigasi dan menghadapi bencana; (6) memastikan kesetaran akses kesempatan memperoleh pelatihan dan pendidikan bagi perempuan dan konstituen yang rentan; dan (7) menggalakkan pelatihan tentang sensitivitas gender dan budaya sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan dan pelatihan tentang pengurangan resiko bencana.
Masyarakat di seluruh dunia berpandangan bahwa anak-anak menghadirkan harapan masa depan. Sekolah dipercaya memiliki pengaruh langsung terhadap generasi muda, yaitu dalam menanamkan nilai-nilai budaya dan menyampaikan pengetahuan tradisional dan konvensional kepada generasi muda. Untuk melindungi anak-anak dari ancaman bencana alam diperlukan dua prioritas berbeda namun tidak bisa dipisahkan aksinya yaitu pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah.
Untuk alasan itulah dilakukan ‘Kampanye Pendidikan tentang Resiko Bencana dan Keselamatan di Sekolah’ yang dikoordinir oleh UN/ISDR (United Nations/International Strategy for Disaster Reduction) hingga penghujung tahun 2007 dengan didasari berbagai pertimbangan. Anak-anak adalah kelompok yang paling rentan selama kejadian bencana, terutama yang sedang bersekolah pada saat berlangsungnya kejadian. Pada saat bencana, gedung sekolah hancur, mengurangi usia hidup murid sekolah dan guru yang sangat berharga dan macetnya kesempatan memperoleh pendidikan sebagai dampak bencana. Pembangunan kembali sekolah memerlukan waktu yang tidak sebentar dan pastilah sangat mahal.
Pendidikan kebencanaan di sekolah dasar dan menegah membantu anak-anak memainkan peranan penting dalam penyelamatan hidup dan perlindungan anggota masyarakat pada saat kejadian bencana. Menyelenggarakan pendidikan tentang resiko bencana ke dalam kurikulum sekolah sangat membantu dalam membangun kesadaran akan isu tersebut di lingkungan masyarakat. Sebagai tambahan terhadap peran penting mereka di dalam pendidikan formal, sekolah juga harus mampu melindungi anak-anak dari suatu kejadian bencana alam. Investasi dalam memperkuat struktur gedung sekolah sebelum suatu bencana terjadi, akan mengurangi biaya/anggaran jangka panjang, melindungi generasi muda penerus bangsa, dan memastikan kelangsungan kegiatan belajar-mengajar setelah kejadian bencana.
Pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah merupakan dua prioritas utama untuk dilakukan, sebagai aksi Kerangka Kerja Aksi Hyogo yang telah diadopsi oleh 168 negara. Pengintegrasian pendidikan tentang resiko bencana ke dalam kurikulum pendidikan secara nasional dan penyediaan fasilitas sekolah yang aman dan menyelamatkan juga merupakan dua prioritas yang memberikan kontribusi terhadap kemajuan suatu negara menuju Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goal).
Sasaran utama kampanye ini adalah mempromosikan integrasi pendidikan tentang resiko bencana dalam kurikulum sekolah di negara-negara yang rawan bencana alam dan mempromosikan konstruksi yang aman dan penyesuaian gedung sekolah yang mampu menahan bahaya. Untuk mencapai sasaran tersebut diperlukan langkah-langkah yang tepat dengan cara mempromosikan praktek terbaik yang menunjukkan bagaimana bermanfaatnya pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah bagi masyarakat yang rentan. Berupaya melibatkan para pelaku pada berbagai tingkatan untuk menyampaikan pesan kampanye tersebut. Mendorong kepekaan anak-anak sekolah, orangtua, para guru, para pengambil kebijakan di tingkat lokal hingga internasional, dan organisasi kemasyarakatan untuk mempengaruhi kebijakan tentang pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah.
Kampanye ditujukan kepada murid sekolah dasar dan menengah, para guru, pembuat kebijakan pendidikan, orangtua, insinyur dan ahli bangunan. Selain itu juga ditujukan kepada lembaga pemerintah yang bertanggung-jawab atas isu manajemen bencana, mendiknas, para pemimpin politik di tingkat nasional, pembuat keputusan di masyarakat, dan otoritas lokal. Pesan yang bisa disampaikan antara lain: (1) pendidikan tentang resiko bencana menguatkan anak-anak dan membantu membangun kesadaran yang lebih besar isu tersebut di dalam masyarakat; (2) fasilitas bangunan sekolah yang bisa menyelamatkan hidup dan melindungi anak-anak sebagai generasi penerus bangsa dari suatu kejadian bencana alam; dan (3) pendidikan tentang resiko bencana dan fasilitas keselamatan di sekolah akan membantu negara-negara menuju ke arah pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium.
Hasil yang diharapkan adalah pemerintah pusat dan daerah menanamkan investasinya dalam fasilitas bangunan sekolah tahan bencana dan mengarahkan kurikulum pendidikan tentang resiko bencana secara nasional; (2) meningkatkan kesadaran sebagai dampak positif adanya pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah; dan (3) peningkatan aksi dan penggunaan praktek-praktek yang baik untuk mengerahkan koalisi dan kemitraan, membangun kapasitas sumberdaya yang ada untuk mengadakan pelatihan pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah.
Ada pengalaman menarik tentang peran anak-anak dalam mengurangi korban tsunami Desember 2004. Seorang gadis kecil dari Inggris bernama Tilly yang mendapatkan pelajaran tanda-tanda tsunami dari guru geografinya telah menyelamatkan banyak orang yang sedang berlibur di pantai barat Thailand. Seorang anak laki-laki kecil bernama Anto yang tinggal di Pulau Simeulue mendapatkan pelajaran dari kakeknya tentang apa yang harus dilakukan ketika terjadi gempabumi di laut. Bersama seluruh penghuni pulau itu, mereka berlari menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi. Kedua kisah tersebut diangkat ke dalam film pendek sebagai materi kampanye UN/ISDR.
Sebagai penutup, marilah kita semua lebih memperhatikan upaya mengurangi resiko bencana yang dimulai dari sekolah. Seluruh komponen, dalam hal ini anak-anak sekolah, para guru, para pemimpin masyarakat, orangtua, maupun individu yang tertarik dengan pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, institusi lokal/regional/nasional/ internasional, sektor swasta dan publik untuk dapat berpartisipasi secara aktif. Keterlibatan media juga diperlukan untuk mendorong sebuah budaya ketahanan terhadap bencana dan keterlibatan komunitas yang kuat dalam rangka kampanye pendidikan publik secara terus-menerus dan dalam konsultasi publik di segenap lapisan masyarakat. Bencana?! Jika Siap Kita Selamat.
salam Tagana.. Tim Kordinator Tagana Jawa timur By. Opered
Ketika terjadi bencana alam, anak-anaklah yang paling rentan terkena dampaknya. Terutama sekali jika pada saat kejadian, anak-anak sedang belajar di sekolah. Gempabumi di Pakistan pada bulan Oktober 2005 menyebabkan lebih dari 16 ribu anak-anak meninggal akibat runtuhnya gedung sekolah. Longsorlahan di Leyte, Philipina menewaskan lebih dari 200 anak sekolah. Dari dua contoh kejadian tadi, seharusnya kita berupaya melindungi anak-anak kita sebelum bencana terjadi.
Berdasarkan hasil Konferensi Sedunia tentang Pengurangan Resiko Bencana (World Conference on Disaster Reduction) yang diselenggarakan pada tanggal 18-22 Januari 2005 di Kobe, Hyogo, Jepang; dan dalam rangka mengadopsi Kerangka Kerja Aksi 2005-2015 dengan tema ‘Membangun Ketahanan Bangsa dan Komunitas Terhadap Bencana’ memberikan suatu kesempatan untuk menggalakkan suatu pendekatan yang strategis dan sistematis dalam meredam kerentanan dan resiko terhadap bahaya. Konferensi tersebut menekankan perlunya mengidentifikasi cara-cara untuk membangun ketahanan bangsa dan komunitas terhadap bencana.
Bencana dapat diredam secara berarti jika masyarakat mempunyai informasi yang cukup dan didorong pada budaya pencegahan dan ketahanan terhadap bencana, yang pada akhirnya memerlukan pencarian, pengumpulan, dan penyebaran pengetahuan dan informasi yang relevan tentang bahaya, kerentanan, dan kapasitas. Oleh karena itu diperlukan usaha-usaha antara lain: (1) menggalakkan dimasukkannya pengetahuan tentang pengurangan resiko bencana sebagai bagian yang relevan dalam kurikulum pendidikan di semua tingkat dan menggunakan jalur formal dan informal lainnya untuk menjangkau anak-anak muda dan anak-anak dengan informasi; menggalakkan integrasi pengurangan risiko bencana sebagai suatu elemen instrinsik dalam dekade 2005–2015 untuk Pendidikan bagi Pembangunan Berkelanjutan (United Nations Decade of Education for Sustainable Development); (2) menggalakkan pelaksanaan penjajagan resiko tingkat lokal dan program kesiapsiagaan terhadap bencana di sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lanjutan; (3) menggalakkan pelaksanaan program dan aktivitas di sekolah-sekolah untuk pembelajaran tentang bagaimana meminimalisir efek bahaya; (4) mengembangkan program pelatihan dan pembelajaran tentang pengurangan resiko bencana dengan sasaran sektor-sektor tertentu, misalnya: para perancang pembangunan, manajer tanggap darurat, pejabat pemerintah tingkat lokal, dan sebagainya; (5) menggalakkan inisiatif pelatihan berbasis masyarakat dengan mempertimbangkan peran tenaga sukarelawan sebagaimana mestinya untuk meningkatkan kapasitas lokal dalam melakukan mitigasi dan menghadapi bencana; (6) memastikan kesetaran akses kesempatan memperoleh pelatihan dan pendidikan bagi perempuan dan konstituen yang rentan; dan (7) menggalakkan pelatihan tentang sensitivitas gender dan budaya sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan dan pelatihan tentang pengurangan resiko bencana.
Masyarakat di seluruh dunia berpandangan bahwa anak-anak menghadirkan harapan masa depan. Sekolah dipercaya memiliki pengaruh langsung terhadap generasi muda, yaitu dalam menanamkan nilai-nilai budaya dan menyampaikan pengetahuan tradisional dan konvensional kepada generasi muda. Untuk melindungi anak-anak dari ancaman bencana alam diperlukan dua prioritas berbeda namun tidak bisa dipisahkan aksinya yaitu pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah.
Untuk alasan itulah dilakukan ‘Kampanye Pendidikan tentang Resiko Bencana dan Keselamatan di Sekolah’ yang dikoordinir oleh UN/ISDR (United Nations/International Strategy for Disaster Reduction) hingga penghujung tahun 2007 dengan didasari berbagai pertimbangan. Anak-anak adalah kelompok yang paling rentan selama kejadian bencana, terutama yang sedang bersekolah pada saat berlangsungnya kejadian. Pada saat bencana, gedung sekolah hancur, mengurangi usia hidup murid sekolah dan guru yang sangat berharga dan macetnya kesempatan memperoleh pendidikan sebagai dampak bencana. Pembangunan kembali sekolah memerlukan waktu yang tidak sebentar dan pastilah sangat mahal.
Pendidikan kebencanaan di sekolah dasar dan menegah membantu anak-anak memainkan peranan penting dalam penyelamatan hidup dan perlindungan anggota masyarakat pada saat kejadian bencana. Menyelenggarakan pendidikan tentang resiko bencana ke dalam kurikulum sekolah sangat membantu dalam membangun kesadaran akan isu tersebut di lingkungan masyarakat. Sebagai tambahan terhadap peran penting mereka di dalam pendidikan formal, sekolah juga harus mampu melindungi anak-anak dari suatu kejadian bencana alam. Investasi dalam memperkuat struktur gedung sekolah sebelum suatu bencana terjadi, akan mengurangi biaya/anggaran jangka panjang, melindungi generasi muda penerus bangsa, dan memastikan kelangsungan kegiatan belajar-mengajar setelah kejadian bencana.
Pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah merupakan dua prioritas utama untuk dilakukan, sebagai aksi Kerangka Kerja Aksi Hyogo yang telah diadopsi oleh 168 negara. Pengintegrasian pendidikan tentang resiko bencana ke dalam kurikulum pendidikan secara nasional dan penyediaan fasilitas sekolah yang aman dan menyelamatkan juga merupakan dua prioritas yang memberikan kontribusi terhadap kemajuan suatu negara menuju Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goal).
Sasaran utama kampanye ini adalah mempromosikan integrasi pendidikan tentang resiko bencana dalam kurikulum sekolah di negara-negara yang rawan bencana alam dan mempromosikan konstruksi yang aman dan penyesuaian gedung sekolah yang mampu menahan bahaya. Untuk mencapai sasaran tersebut diperlukan langkah-langkah yang tepat dengan cara mempromosikan praktek terbaik yang menunjukkan bagaimana bermanfaatnya pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah bagi masyarakat yang rentan. Berupaya melibatkan para pelaku pada berbagai tingkatan untuk menyampaikan pesan kampanye tersebut. Mendorong kepekaan anak-anak sekolah, orangtua, para guru, para pengambil kebijakan di tingkat lokal hingga internasional, dan organisasi kemasyarakatan untuk mempengaruhi kebijakan tentang pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah.
Kampanye ditujukan kepada murid sekolah dasar dan menengah, para guru, pembuat kebijakan pendidikan, orangtua, insinyur dan ahli bangunan. Selain itu juga ditujukan kepada lembaga pemerintah yang bertanggung-jawab atas isu manajemen bencana, mendiknas, para pemimpin politik di tingkat nasional, pembuat keputusan di masyarakat, dan otoritas lokal. Pesan yang bisa disampaikan antara lain: (1) pendidikan tentang resiko bencana menguatkan anak-anak dan membantu membangun kesadaran yang lebih besar isu tersebut di dalam masyarakat; (2) fasilitas bangunan sekolah yang bisa menyelamatkan hidup dan melindungi anak-anak sebagai generasi penerus bangsa dari suatu kejadian bencana alam; dan (3) pendidikan tentang resiko bencana dan fasilitas keselamatan di sekolah akan membantu negara-negara menuju ke arah pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium.
Hasil yang diharapkan adalah pemerintah pusat dan daerah menanamkan investasinya dalam fasilitas bangunan sekolah tahan bencana dan mengarahkan kurikulum pendidikan tentang resiko bencana secara nasional; (2) meningkatkan kesadaran sebagai dampak positif adanya pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah; dan (3) peningkatan aksi dan penggunaan praktek-praktek yang baik untuk mengerahkan koalisi dan kemitraan, membangun kapasitas sumberdaya yang ada untuk mengadakan pelatihan pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah.
Ada pengalaman menarik tentang peran anak-anak dalam mengurangi korban tsunami Desember 2004. Seorang gadis kecil dari Inggris bernama Tilly yang mendapatkan pelajaran tanda-tanda tsunami dari guru geografinya telah menyelamatkan banyak orang yang sedang berlibur di pantai barat Thailand. Seorang anak laki-laki kecil bernama Anto yang tinggal di Pulau Simeulue mendapatkan pelajaran dari kakeknya tentang apa yang harus dilakukan ketika terjadi gempabumi di laut. Bersama seluruh penghuni pulau itu, mereka berlari menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi. Kedua kisah tersebut diangkat ke dalam film pendek sebagai materi kampanye UN/ISDR.
Sebagai penutup, marilah kita semua lebih memperhatikan upaya mengurangi resiko bencana yang dimulai dari sekolah. Seluruh komponen, dalam hal ini anak-anak sekolah, para guru, para pemimpin masyarakat, orangtua, maupun individu yang tertarik dengan pendidikan tentang resiko bencana dan keselamatan di sekolah, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, institusi lokal/regional/nasional/ internasional, sektor swasta dan publik untuk dapat berpartisipasi secara aktif. Keterlibatan media juga diperlukan untuk mendorong sebuah budaya ketahanan terhadap bencana dan keterlibatan komunitas yang kuat dalam rangka kampanye pendidikan publik secara terus-menerus dan dalam konsultasi publik di segenap lapisan masyarakat. Bencana?! Jika Siap Kita Selamat.
salam Tagana.. Tim Kordinator Tagana Jawa timur By. Opered
BAngun Pusat Pelatihan TAGANA dan TAGANA TRAINING CENTER
salam relawan...
Jakarta, Menteri Sosial RI, Salim Segaf Al-Jufri secara simbolis menerima tanah hibah dari Yayasan Bakti Putra yang diwakili oleh Tinton Suprapto, yang ditandatangani di Kantor kemensos jakarta, kemarin.(30/4). Tanah Diatas lahan seluas 50.000 meter persegi yang berlokasi di Desa Hambalang, Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor ini akan dibangun Pusat Pelatihan Taruna Siaga Bencana Terpadu atau Tagana Training Centre.
Usai penandatangan MOU dengan Yayasan Bhakti Putra yang diketuai Hutomo Mandala Putra ini, Menteri Sosial SALIM SEGAF AL JUFRI mengatakan, Hibah lahan tersebut merupakan bentuk dukungan atas misi Kementerian Sosial untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi dan sumber kesejahteraan sosial dari kalangan Taruna Siaga Bencana atau Tagana yang sebagai salah satu peran masyarakat dalam penanggulangan bencana.
Lebih jauh Mensos Salim Segaf Al Jufri mengatakan, TAGANA adalah sosok relawan sosial dalam penanggulangan bencana. Saat ini Personil Tagana di seluruh Indonesia saat ini telah mencapai lebih dari 40.000 orang dan diperkirakan akan terus meningkat, dan setiap Tagana memiliki keharusan untuk selalu proaktif dan menguasai Standar Operating Procedure (SOP) dalam penanganan bencana.
Oleh karena itu dengan adanya tempat pelatihan ini diharapkan berbagai keahlian termasuk salah satunya pengkaderan manajemen bencana sangat dibutuhkan. Selain menjadi lokasi pelatihan yang memiliki fasilitas lengkap dan modern serta dikelola secara profesional maka Pemusatan Pelatihan ini dapat digunakan sebagai ‘model’ untuk penyediaan sarana dan prasarana. Diharapkan dengan berdirinya Tagana Training Center dapat meningkatkan standar kompetensi para anggota Tagana.
salam Tagana.. Tim Kordinator Tagana Jawa timur By. Opered
pengurangan risiko bencana (PRB)
salam relawan...
Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) akan mengintegrasikan pengetahuan pengurangan risiko bencana (PRB) ke dalam kurikulum. Siswa mulai jenjang sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA) akan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang tepat untuk menyelamatkan diri saat terjadi bencana, serta akan turut serta dalam mengurangi risiko bencana.
Sekretaris Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Sesditjen Mandikdasmen) Kemdiknas Bambang Indriyanto menuturkan, secara intuisi setiap orang mempunyai naluri untuk menyelamatkan diri dari bencana. Namun, dengan berpengetahuan untuk menyelamatkan diri secara cerdas dan sistematis maka dapat mengurangi risiko bencana.
"Dalam penyelamatan juga akan terlihat solidaritas dalam berempati dan simpati dari siswa ketika terjadi bencana alam," katanya pada Sosialisasi Surat Edaran Mendiknas tentang Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana di Sekolah, bertempat di Gedung Kemdiknas, Senayan Jakarta, Kamis (29/7).
Dalam Surat Edaran Menteri Pendidikan Nasional No. 70a/SE/MPN/2010 itu diimbau kepada seluruh gubernur, bupati, dan walikota untuk menyelenggarakan penanggulangan bencana di sekolah melalui tiga hal. Yaitu, pemberdayaan peran kelembagaan dan kemampuan komunitas sekolah, pengintegrasian PRB ke dalam kurikulum satuan pendidikan formal, baik intra maupun ekstrakurikuler, dan membangun kemitraan dan jaringan antar pihak untuk mendukung pelaksanaan PRB di sekolah.
Bambang menjelaskan, pengintegrasian materi dilakukan pada tingkat topik bahasan, sehingga tidak membebankan dan tidak berpengaruh pada standar isi.
Dia mencontohkan, pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Geografi, siswa mendapatkan pengetahuan tentang gempa tektonik dan vulkanik. "Siswa diharapkan tidak hanya memahami, tetapi mempunyai kompetensi," ujarnya.
Contoh lain, kata Bambang, pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) pada konteks kehidupan bersama saat terjadi bencana. Siswa dapat mengembangkan rasa simpati dan empati. Juga, pada mata pelajaran Kewarganegaraan topik bahasan hak dan kewajiban warga negara.
Bambang menuturkan, pembelajaran tentang bencana diprioritaskan di Bengkulu, Sumatera Barat, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Bali, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NT). Topik bencana yang dikenalkan meliputi gempa, banjir, tsunami, kekeringan, dan kebakaran.
Pejabat UNDP (United Nations Development Programme) Indonesia, Kristanto Sinandang mengatakan, program PRB ini merupakan salah satu prioritas Kerangka Aksi Hyogo (2005-2015) yang merupakan kerangka kerja komitmen global. Kerangka kerja ini telah diadopsi sebanyak 168 negara, termasuk Indonesia.
Dijelaskan, adanya strategi nasional ini merupakan bukti nyata komitmen pemerintah Indonesia untuk memasukkan pengurangan risiko bencana ke dalam mainstream pendidikan nasional. "Tidak memperlakukan bencana sebagai aksi reaktif saja, tetapi aksi preventif pengurangan risiko. Itu yang menjadi paradigma baru di dalam manajemen kebencanaan,salam Tagana..
Tim Kordinator Tagana Jawa timur By. Opered
Langganan:
Postingan (Atom)