Jumat, Mei 28, 2010

Manajemen Bencana Berbasis Masyarakat


Ditulis oleh : TAGANA INDONESIA 16.06.0458

Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat 28 wilayah di Indonesia merupakan daerah rawan gempa dan tsunami. Di antaranya Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jateng, dan DIY bagian selatan, Jatim bagian selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak, Yapen dan Fak-Fak di Papua serta Balikpapan Kalimantan Timur.


Bencana alam sering kali dianggap sebagai sesuatu yang harus terjadi. Gempa bumi, erupsi gunung api, tanah longsor, gelombang pasang, kekeringan, banjir dan lainnya merupakan kondisi alam yang melekat pada bumi kita. Sampai saat ini, manusia belum mampu menghentikan munculnya bahaya tersebut. Bukan hanya karena kekuatannya yang luar biasa, melainkan juga karena waktu terjadinya sulit ditentukan secara tepat.Berbagai peristiwa bencana alam menunjukkan bahwa ukuran suatu bencana alam sangat besar sehingga manusia tidak memiliki makna terhadap bencana tersebut. Namun di sisi lain, manusia mempunyai kemampuan untuk mengenali dan memahami bencana tersebut. Tindakan tersebut merupakan salah satu upaya untuk menekan tingkat kerugian yang ditimbulkan akibat terjadinya bencana alam, atau sering disebut sebagai bagian dari manajemen bencana.Tindakan manajemen bencana merupakan bagian penting dan strategis bagi aksi kemanusiaan. Karena itu, tujuan manajemen bencana alam adalah meningkatkan kesadaran umat manusia akan bahaya bencana alam. Melalui manajemen ini, masyarakat diberikan pemahaman yang lebih baik mengenai bencana alam sehingga dapat menekan jumlah korban jiwa dan harta benda melalui kemampuan teknologi dan manajemen
Pembangunan kemampuan penanganan bencana ditekankan pada peningkatan kemampuan masyarakat, khususnya masyarakat pada kawasan rawan bencana agar secara dini dapat mengurangi ancaman tersebut. Upaya ini umumnya berpangkal pada tindakan penumbuhan dan pemberdayaan kemampuan masyarakat dalam menangani serta menekan jumlah korban jiwa maupun harta benda akibat bencana.Untuk mencapai kondisi tersebut, perlu langkah-langkah pengenalan jenis bencana alam, pemetaan daerah rawan, zonasi daerah bahaya bencana dan prakiraan risiko, pengenalan sosial budaya masyarakat daerah rawan bencana, penyusunan prosedur dan tata cara penanganan bencana, pemasyarakatan kesiagaan dan peningkatan kemampuan penanggulangan bencana, mitigasi fisik, dan pengembangan teknologi penanggulangan bencana alam. Perlu ditekankan pula rangkaian kegiatan tersebut di atas dilakukan secara partisipatoris, bersama oleh dan untuk masyarakat, bukan sekedar oleh para ahli dan aparat pemerintah.Ataukah  pemberdayaan
Pada manajemen bencana--khususnya terhadap bantuan darurat--dikenal dua model pendekatan yaitu pendekatan konvensional dan pendekatan pemberdayaan (Anderson & Woodrow, 1989). Perbedaan kedua pendekatan tersebut terutama terletak pada cara melihat kondisi korban, taksiran kebutuhan, kecepatan dan ketepatan, fokus pada bantuan yang diberikan serta target akhir pendekatan konvensional, korban dianggap tidak berdaya dan membutuhkan barang yang harus kita berikan. Terhadap kebutuhan itu pun harus ditaksir secara cepat dan umum. Dalam pendekatan ini, kebutuhan dianggap begitu mendesak sehingga kecepatan dan efisiensi adalah prioritas, tidak ada waktu untuk melibatkan masyarakat setempat. Fokus utama dari pendekatan ini adalah benda fisik dan material dengan tujuan akhir adalah agar keadaan kembali normal seperti sebelum terjadinya bencana alam.Sebaliknya, pada pendekatan pemberdayaan, korban merupakan manusia yang aktif dengan berbagai kemampuan dan kapasitas. Dengan demikian, penaksiran kebutuhan dapat dilakukan seksama dengan memperhatikan kapasitas yang ada. Karena itu, pendekatan ini menekankan bahwa sejak awal sudah harus mempertimbangkan dampak jangka panjang dari bantuan luar yang mengalir serta harus menghormati gagasan dan kapasitas yang ada pada masyarakat setempatYang perlu ditekankan pada pendekatan pemberdayaan ini adalah walaupun kita memberikan benda-benda fisik dan material yang dibutuhkan, pemberian itu tetap harus mendukung kapasitas dan sisi sosial atau kelembagaan serta sisi sikap atau motivasi masyarakat setempat. Tujuan utama dari pendekatan pemberdayaan ini adalah mengurangi kerentanan dalam jangka panjang dan untuk mendukung peningkatan kapasitas masyarakat lokaly style="text-align: justify;">
Eksternal Ataukah internalDalam manajemen penanggulangan bencana juga dikenal adanya dua mekanisme. Pertama, mekanisme internal, yaitu pola penanggulangan bencana yang dilakukan unsur-unsur masyarakat di lokasi bencana, baik berupa keluarga, organisasi sosial, dan masyarakat lokal. Mekanisme itu dikenal sebagai mekanisme penanggulangan bencana secara alamiah. Kedua, mekanisme eksternal, yaitu penanggulangan bencana dengan melibatkan unsur-unsur di luar unsur-unsur yang terlibat dalam mekanisme internal.
Apabila diperhatikan, penanggulangan bencana saat ini umumnya menggunakan pendekatan konvensional dan dilakukan dengan mekanisme eksternal. Rencana kegiatan penanggulangan bencana (pada tahap-tahap pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, rehabilitasi, hingga rekonstruksi) lebih memosisikan masyarakat yang terkena bencana sebagai objek
>Pelaksanaan rangkaian penanggulangan bencana selama ini nampak kurang melibatkan masyarakat yang terkena bencana dan tidak memperhatikan potensi masyarakat yang menjadi korban. Jika dicermati lebih jauh lagi, perlengkapan baku dalam kegiatan manajemen terdiri dari perlengkapan operasional yang mungkin aneh buat masyarakat. Padahal, sangat mungkin, masyarakat setempat dengan kearifan lokal yang mereka warisi turun-temurun telah memiliki seperangkat alat yang lebih tepat guna bagi mereka pihak untuk membuat masyarakat yang rentan lebih berkapasitas. Dengan tujuan, membuat masyarakat yang rentan mampu mengatasi semua ancaman agar tidak menjadi bencana. Kapasitas masyarakat yang kuat akan menempatkan ancaman tetap sebagai ancaman, tidak sebagai bencana yang meluluhlantakkan semua perikehidupan masyarakat

Tentu sangat tidak manusiawi dan tidak bijak bila penanggulangan bencana alam justru berdampak meninggalkan masyarakat lokal, menisbikan keberadaan mereka karena tidak sesuai dengan keinginan pelaku penanggulangan bencana. Karena itu, manajemen bencana berbasis masyarakat harus dilakukan dengan mekanisme internal, yaitu mendudukkan masyarakat sebagai subjek. Manajemen itu tidak menempatkan masyarakat pada posisi lemah, bodoh, dan salah .Metode partisipatif merupakan salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendukung mekanisme internal. Wujud nyata dari konsep ini adalah perlunya lembaga-lembaga pemerintah, swasta dan swadaya masyarakat mendukung proses peningkatan potensi yang ada, sekaligus upaya mengurangi kerentanan mereka. Namun, setelah masyarakat memiliki potensi yang cukup, biarkan masyarakat menentukan.
Berdasarkan beberapa pengalaman kami, perlu segera dilakukan identifikasi sembari memberikan dukungan kepada masyarakat korban bencana alam. Upaya identifikasi riil tersebut dilakukan agar dapat secara tepat melakukan langkah-langkah berikutnya.Langkah-langkah implementasi harus meliputi tahapan-tahapan, pertama, menganalisa kebutuhan jangka pendek untuk memperingan dampak bencana pada saat itu. Kedua, menganalisa potensi masyarakat serta membangun potensi dalam menghadapi bencana di masa mendatang. Ketiga, menyiapkan desain/model penanganan bencana di masa mendatang. Dan keempat, mempersiapkan data advokasi untuk desain penataan kawasan dan penanganan masalah yang mungkin muncul pascabencana alam.

Tidak ada komentar: