Jumat, Mei 28, 2010

Lima warga Kecamatan Sitio-Tio, Kabupaten Samosir, hanyut dalam banjir bandang

di warta ulang : ibrahim da silva 16060458.

Medan: Lima warga Kecamatan Sitio-Tio, Kabupaten Samosir, hanyut dalam banjir bandang yang terjadi pada Kamis malam sekitar pukul 21.00 WIB. Kabid Humas Polda Sumut Kombes Pol Baharudin Djafar di Medan, Jumat (30/4), mengatakan, lima warga yang hanyut itu adalah Marsaulina boru Situmorang (15), Lidya boru Tamba (48), Marintan Rumada Situmorang (4), Pegang Hasudungan Situmorang (9) dan Samuel Aldo Situmorang (10).

Dalam pencarian awal petugas kepolisian dibantu aparatur di jajaran Pemkab Samosir berhasil menemukan Marsaulina boru Situmorang yang telah meninggal dunia. Sedangkan empat warga lain belum ditemukan. Ia menjelaskan, banjir bandang itu terjadi di dua desa, yakni Desa Rangsang Bosi dan Desa Sibulan yang disebabkan meluapnya Sungai Sitorang Nabolon setelah menerima curah hujan yang cukup tinggi.

Selain menghanyutkan lima warga, banjir bandang juga menyebabkan kerugian materi karena rusaknya sejumlah rumah dan infrastruktur desa. Berdasarkan pendataan sementara, satu rumah semi permanen rusak berat dan empat jembatan serta sebuah kendaraan roda dua hanyut di Desa Sibulan.

Sedangkan di Desa Rangsang Besi tercatat empat rumah rusak berat akibat dihantam banjir bandang dari sungai selebar 30 meter tersebut. Pihaknya telah memerintah personel Polres Samosir untuk terus melakukan pencarian terhadap empat warga yang hanyut akibat banjir bandang itu. Pihak kepolisian juga telah mendirikan beberapa posko bantuan untuk menolong warga yang menjadi korban banjir bandang bekerja sama dengan pemerintah setempat

Membangun jaringan komunikasi saat saat kondite zeru

Sederhana saja, mencoba meninjau kembali cara-cara berkomunikasi seperti apa yang cukup tepat untuk dilakukan pada saat-saat darurat. Setidaknya ada tiga
prinsip komunikasi yang bisa terjadi:

1. point to point
Komunikasi di sini berlangsung dua arah antara satu dengan satu yang lain. Masing-masing, antara pengirim pesan dan penerima pesan harus menggunakan sarana dan
medium yang sama. Misal, pembicaraan antara dua orang secara langsung (tatap muka), memakai telepon, atau HP. Isi komunikasi yang terjadi pun sangat tertutup.
Pihak di luar kedua orang itu akan sangat terbatas aksesnya terhadap informasi yang dikomunikasikan. Kalaupun setelah itu keduanya mengomunikasikan hal-hal
yang dibahas sebelumnya kepada khalayaknya/ orang lain, ada kemungkinan terjadi bias, penambahan, serta pengurangan informasi yang disebarluaskan
2. point to multipoint
Komunikasi di sini berlangsung dari satu pihak dan diteruskan hingga bisa dicandra oleh banyak orang. Gambarannya seperti orang ceramah, suara kentongan, siaran radio, dan televisi. Informasi yang tersiar bisa tersampaikan langsung kepada lebih banyak orang. Namun, model ini merupakan komunikasi satu arah. Termasuk ketika sesi interaktif dilangsungkan, ketika penikmat siaran radio atau televisi bisa menyampaikan pesan yang bisa disebarluaskan melalui media tersebut, komunikasi yang terjadi dengan khalayak penyandra media tersebut tetap berlangsung satu arah.
3. multipoint to multipoint
Komunikasi di sini berlangsung antara beberapa pihak secara bersama-sama. Gampangnya seperti ngobrol bareng. Sumber informasi bisa dari siapapun dan bisa dicandra oleh siapapun juga. Oleh karenanya, data dan informasi yang terkemas dan tersebar akan segera terverifikasi dan tervalidasi. Komunikasi model ini misalnya berlangsung melalui forum langsung (tatap muka), radio komunikasi (Rig, HT), conference instant messenger. semua jelas memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Maka dari itu, dipilihlah istilah
“tepat guna” untuk memilih model komunikasi seperti apa yang bisa dibangun untuk menanggapi
situasi darurat. Dari obrolan dengan Mz Nasir, deputi
direktur kantorku, terpetakanlah tiga model komunikasi
di atas. Itu semua berangkat dari beberapa kasus dan
pengalaman yang kebetulan sudah dia dan kami alami.
Dan ternyata, canggih belum tentu bisa menjawab apa
yang sebenarnya kita butuhkan.


Beberapa bulan lalu kami dimintai tolong oleh
valunter untuk memfasilitasi pendirian radio komunitas
di kawasan bencana.Kawasan ketika semua jalur encom
putus maka cara tepat dan emergency lewat kumunikasi
freqwensi barulah bila kondisi memungkinkan kita juga
mengunakan hp.
Ketika ditanya dengan apa biasanya mereka
berkomunikasi satu sama lain. Mereka bilang dengan
mantap, “Jelas pakai HP, donk!”. Memang, HP di
kawasan ini sudah cukup tersebar merata dimiliki
penduduk hingga pelosok kawasan sekalipun. Bisa
dibilang, dari 10 KK, 8 KK pasti memiliki alat
komunikasi HP. Intensitas pemakaiannya pun tergolong
cukup tinggi, ratusan ribu hingga satu juta rupiah
sebulan untuk biaya pulsa. Tak ketinggalan ketika
mereka meronda, komunikasi pun dilakukan dengan
memakai HP. “Lalu, bagaimana jika situasinya
genting?”. Mereka hanya punya HP dan jelas harus
menelepon satu per satu ketika terjadi peristiwa
penting, seperti ancaman serangan gajah, termasuk
untuk koordinasi.
Ketika ditanya, “Kenapa tidak memakai radio
komunikasi, HT?”. Penampilan HT yang berukuran besar
menjadi masalah. Gampangnya, mending pakai HP saja,
lebih cepat. Namun, apakah benar bisa lebih cepat.
Mungkin juga karena hampir setiap orang memegang HP
dan bisa langsung mengontak yang lain ketika
diperlukan. Namun, apakah cukup efisien untuk
koordinasi yang lebih luas, dan cepat? Dengan HP,
masing-masing orang harus menelepon atau meng-SMS
orang satu per satu. Dengan menelepon, pembicaraan
hanya bisa terjadi di antara dua orang. Dengan SMS,
orang harus menunggu jawaban, tidak serta merta.

Hanya ada tiga HT pascagempa Sumatera
Bumi bergoyang di pesisir selatan Sumatera pada 12-13
September 2007 lalu, dan masih disusul dengan sejumlah
rangkaian gempa yang setara. Bahkan hingga saat
tulisan ini ditulis, baru saja terjadi gempa lagi
Painan, Sumatera Barat. Cukup besar, 5.2 skala
Richter. Muko-Muko, Bengkulu Utara menjadi tempat
pertama yang bisa dijangkau oleh tim, yang datang
untuk mengaktifkan akses internet di lokasi bencana
agar koordinasi bisa terbantu. Namun, tak tahu harus
bilang apa ketika melihat situasi di lapangan, hanya
ada 3 HT untuk kawasan satu kabupaten itu.

Penduduk setempat sudah mengungsi ke daerah perbukitan
di pedalaman, jauh dari pantai. Radius lima
pengungsian besar sekitar 15 km dari pusat kota
Muko-Muko. Posko Mediacenter yang didirikan di
Muko-Muko dan terakses dengan internet menjadi
satu-satunya sumber informasi gempa. Semua pihak ;
aparat dan warga, mengacu pada data BMG yang bisa
diakses dengan cepat di posko ini. Aparat
menyebarkannya dengan HP GSM masing-masing, yang juga
digunakan untuk koordinasi. Sementara, warga harus
bolak-balik kota dan pengungsian jika ingin melihat
data dan informasi gempa terbaru. Dan gempa susulan
pun masih susul-menyusul.
Sebagian warga masih ada yang bertahan di permukiman
mereka, tetapi tidak ada yang berani tinggal di dalam
rumah. Mereka memasang tenda di halaman rumah
masing-masing. Listrik pascagempa masih bisa menyala,
walaupun hanya beberapa jam saja sehari. Satu-satunya
sumber informasi yang mereka bisa akses adalah
televisi. Ketika gempa datang dan bantuan belum tiba,
mereka pun tak tahu apa pun, karena televisi itu hanya
menyiarkan informasi umum skala nasional. TV tak
selalu tahu apa yang terjadi di daerah mereka.
Padahal, informasi gempa diperlukan setiap saat di
lokal tersebut.

Darurat; perlu cepat, murah, merata, dan lokal
Sebelum membangun sistem informasi untuk penanganan
situasi darurat, kita memang harus tahu lebih dahulu
esensi dari situasi darurat, yaitu keadaan genting
yang memerlukan penanganan secepatnya. Ketika situasi
darurat terjadi, komunikasi yang baik sangat
diperlukan agar penanganan yang dilakukan bisa
efektif. Jika tidak maka yang terjadi adalah kekacauan
karena setiaporang bertindak berdasarkan versi
informasi yang ia dapat. Tak ada waktu banyak untuk
memverifikasi dan memvalidasi informasi yang didapat.
Begitu mendengar kabar ada air datang, semua lari naik
ke bukit, ternyata tidak terjadi tsunami dan mereka
kembali pulang. Begitu berulang-ulang. Cyape' de...
Jadi ingat ketika gempa terjadi di Yogya setahun yang
lalu. Semua panik mendengar kabar air laut naik ke
daratan. Ribuan orang lari ke utara, bahkan ada yang
hingga ke kaki gunung. Orang daerah lain yang
sebenarnya tinggal di kawasan perbukitanpun ada yang
lari mencari gunung untuk didaki. Mz Nasir punya
pengalaman, ketika itu dia cuma berusaha langsung
mencari informasi di mana pusat gempa. Begitu tahu
pusat gempa ada di selatan, paling tidak dia sudah
tahu akan menghindar ke arah mana jika terjadi hal
yang lebih buruk. Lebih jauh dari itu, informasi dari
berbagai sumber, terutama radio siaran tetap dipantau.
Kabar bahwa air di pantai selatan tak naik bisa
diketahui dan tak perlu panik karenanya. Langsung saja
radio di mobil diputar keras-keras agar orang-orang
yang berkumpul di sekitarnya dengan panik bisa ikut
mendengarkan kabar itu tanpa kemudian terus panik.
Temen-temen tim lain yang saat gempa di Yogya
kebetulan membawa HT pun juga terus memantau kabar dan
menyebarkan ke orang-orang di sekitarnya bahwa air tak
naik. Sekali rengkuh, banyak orang langsung tahu
informasi.

Memetakan Kebutuhan, Menentukan Media
Dari pengalaman-pengalam an itulah kemudian
terpetakanlah model-model komunikasi yang bisa
dikembangkan menghadapi situasi dan kondisi darurat.
Semua model bisa direncanakan jika kita sudah bisa
memetakan keadaan wilayah dan kebutuhan. Memang pada
saat ini sudah ada banyak media berteknologi canggih
yang bertebaran dan mudah diakses masyarakat, seperti
HP, telepon, hingga komputer terkoneksi internet.
Namun, untuk menghadapi skenario darurat maka kita pun
harus siap dengan skenario terburuk pula. Di masa
“tenang” kita bisa puas dengan komunikasi via HP
dan komputer terkoneksi internet, yg murah, cepat, dan
canggih. Namun, yang canggih ini belum tentu tepat
digunakan pada situasi darurat.
Pada intinya, semua infrastruktur setiap model
komunikasi yang ada idealnya bisa dipersiapkan sejak
awal. Model komunikasi point to point yang intensif
pada situasi darurat jelas hanya akan efektif di
tataran penentu kebijakan. Namun, komunikasi point to
point tidak efektif digunakan untuk komunikasi dalam
sistem peringatan dini. Sama sekali tidak efisien dan
mahal. Bayangkan jika harus menelepon satu per satu
orang untuk memperingatkan bahwa dalam beberapa menit
akan datang tsnumai menerjang kota.
Model komunikasi point to multipoint akan baik
digunakan untuk menyebarluaskan informasi kepada
khalayak. Komunikasi yang terbangun memang searah,
tetapi akan ada lebih banyak penerima pesan yang bisa
menangkap pesan. Sesuai karakternya sebagai media
siaran, penyebarluas tanda, model komunikasi ini
sangat kuat pada fungsi pemberitahuan semata;
mengumumkan bahwa telah terjadi kondisi tertentu yang
menuntut tindakan tertentu. Model komunikasi ini tidak
cukup intensif untuk mendukung koordinasi di lapangan,
terutama jika dihadapkan dengan sistem peringatan
dini.
Model komunikasi yang akan cukup efektif digunakan
pada situasi darurat dan memenuhi fungsi koordinasi
adalah model komunikasi multipoint to multipoint. Di
sini, pengirim dan penerima pesan adalah jamak, dan
juga serentak, satu waktu. Informasi yang tersebarkan
secara otomatis bisa langsung terverifikasi dan
tervalidasi karena komunikasi bisa berjalan dua arah.
Setiap point yang terlibat di sini pada akhirnya
menjadi access point untuk model komunikasi point to
multipoint atau point to point di wilayahnya
masing-masing. Tak menutup kemungkinan pula, dari
masing-masing point yang terlibat, bisa meneruskannya
ke model komunikasi multipoint to multipoint lainnya.
Di sini, sarana berupa internet dan radio komunikasi
(HT) menjadi pilihan. Namun, di situasi darurat
tampaknya tidak bisa terlalu mengharapkan keberadaan
koneksi internet yang tentu saja membutuhkan prasyarat
keberadaan infrastruktur yang lebih banyak. Jaringan
telepon, antenna, hingga infrastruktur internet
service provider lainnya sangat mungkin juga terkena
imbas bencana; rusak. Belum lagi ketika listrik padam.
Walaupun bisa menghidupkan komputer dengan tenaga
listrik dari generator, belum tentu bisa terkoneksi
dengan internet karena dengan GPRS pun belum tentu
bisa memperoleh sinyal. Dalam kondisi terburuk, paling
tidak harus ada akses langsung ke satelit dengan VSAT
(Very Small Aperture Terminal).

Membangun sistem informasi yang terpadu dan mengakar
Namun, pada dasarnya di sini tidak mencoba menghakimi
model komunikasi mana yang lebih baik daripada yang
lain. Sesuai dengan tujuannya, memetakan, maka di sini
hanya mencoba memilahnya sesuai dengan fungsi yang
tepat. Secara umum, semua model komunikasi itu bisa
digunakan dan bisa saling mendukung jika digunakan
pada konteks yang tepat.

Pada saat ini tim aku dan beberapa kawan lain
kebetulan sedang membangun sebuah sistem informasi
darurat untuk kondisi pascabencana (walaupun belum
bisa dipastikan apakah ini sudah berakhir) di
Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. maka muncul tim
tim lain yang membangun infrastruktur penyedia koneksi
internet dengan menggunakan VSAT. Sebuah media center
di lokasi bencana dibangun dan di situ data-data gempa
terkini dan informasi peringatan dini lainnya bisa
diakses. Piranti lunak yang dikembangkan sebagai
sistem peringatan dini dengan mengacu pada data Badan
Meteorologi dan Geofisika (BMG) pun menjadi acuan
warga dan aparat setempat untuk mengambil tindakan
yang tepat jika diperlukan.

Konvergensi Radio Komunitas, Transceiver VHF, SMS
Gateway, dan internet
Sistem canggih itu tak akan ada artinya jika hanya
berhenti sampai di situ. Media center hanya bisa
dibangun di satu atau dua lokasi saja karena
keterbatasan alat yang jauh dari murah itu. Alhasil,
masyarakat yang jauh dari media center pun bisa-bisa
tidak tahu apa-apa mengenai itu semua. Jika memaksakan
mau memakai komunikasi point to point dengan
menggunakan HP, sekali lagi tidak efektif, mahal, dan
belum tentu ada sinyal layanan selular di setiap
pelosok wilayah. Oleh karena itu, tim yang lain
membangun sistem informasi dan komunikasi dengan
menggunakan radio siaran serta radio komunikasi. Radio
komunitas atau radio siaran swasta yang ada di lokasi
bencana dihidupkan sebagai access point penyebarluas
informasi darurat. Studio radio bisa dihidupkan dengan
tenaga listrik dari generator jika listrik padam.
Sementara, pesawat radio penerima bisa cukup
menggunakan baterai dan bisa dipantau oleh masyarakat
sewaktu-waktu. Prinsip point to point lain, sekaligus
point to many (jika dihubungkan ke website), adalah
pemakaian sistem SMS gateway. Warga bisa mengirimkan
SMS untuk memberi informasi atau meminta informasi ke
posko. Pesan-pesan SMS itu juga bisa tertampilkan di
layar website.

Cara lain yang ditempuh adalah dengan menggunakan
radio komunikasi, berupa RIG atau HT. Peralatan
tersebut digunakan pula untuk menyebarluaskan
informasi darurat, sekaligus sebagai sarana
koordinasi. Koordinasi di sini bisa berupa koordinasi
untuk peringatan dini dan evakuasi. Tetapi, koordinasi
juga bisa dilakukan untuk kepentingan distribusi
bantuan. Alat yang diperlukan tidaklah terlalu mahal
jika dibandingkan dengan saraan komunikasi yang lain.
Bahkan sangat mudah dihidupkan hanya dengan
menggunakan tenaga listrik dari generator untuk RIG
dan baterai untuk HT. Setelah itu, komunikasi bisa
dilakukan setiap saat. Jika bermaksud agar jangkauan
komunikasi bisa lebih luas, cukup diakali dengan
antenna yang mencukupi kebutuhan. Di lapangan saat
ini, bahkan HT digunakan oleh tim kami dan pengelola
radio komunitas sebagai alat untuk melakukan wawancara
dengan warga dan disiarkan langsung melalui radio.

Manajemen Bencana Berbasis Masyarakat


Ditulis oleh : TAGANA INDONESIA 16.06.0458

Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat 28 wilayah di Indonesia merupakan daerah rawan gempa dan tsunami. Di antaranya Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jateng, dan DIY bagian selatan, Jatim bagian selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak, Yapen dan Fak-Fak di Papua serta Balikpapan Kalimantan Timur.


Bencana alam sering kali dianggap sebagai sesuatu yang harus terjadi. Gempa bumi, erupsi gunung api, tanah longsor, gelombang pasang, kekeringan, banjir dan lainnya merupakan kondisi alam yang melekat pada bumi kita. Sampai saat ini, manusia belum mampu menghentikan munculnya bahaya tersebut. Bukan hanya karena kekuatannya yang luar biasa, melainkan juga karena waktu terjadinya sulit ditentukan secara tepat.Berbagai peristiwa bencana alam menunjukkan bahwa ukuran suatu bencana alam sangat besar sehingga manusia tidak memiliki makna terhadap bencana tersebut. Namun di sisi lain, manusia mempunyai kemampuan untuk mengenali dan memahami bencana tersebut. Tindakan tersebut merupakan salah satu upaya untuk menekan tingkat kerugian yang ditimbulkan akibat terjadinya bencana alam, atau sering disebut sebagai bagian dari manajemen bencana.Tindakan manajemen bencana merupakan bagian penting dan strategis bagi aksi kemanusiaan. Karena itu, tujuan manajemen bencana alam adalah meningkatkan kesadaran umat manusia akan bahaya bencana alam. Melalui manajemen ini, masyarakat diberikan pemahaman yang lebih baik mengenai bencana alam sehingga dapat menekan jumlah korban jiwa dan harta benda melalui kemampuan teknologi dan manajemen
Pembangunan kemampuan penanganan bencana ditekankan pada peningkatan kemampuan masyarakat, khususnya masyarakat pada kawasan rawan bencana agar secara dini dapat mengurangi ancaman tersebut. Upaya ini umumnya berpangkal pada tindakan penumbuhan dan pemberdayaan kemampuan masyarakat dalam menangani serta menekan jumlah korban jiwa maupun harta benda akibat bencana.Untuk mencapai kondisi tersebut, perlu langkah-langkah pengenalan jenis bencana alam, pemetaan daerah rawan, zonasi daerah bahaya bencana dan prakiraan risiko, pengenalan sosial budaya masyarakat daerah rawan bencana, penyusunan prosedur dan tata cara penanganan bencana, pemasyarakatan kesiagaan dan peningkatan kemampuan penanggulangan bencana, mitigasi fisik, dan pengembangan teknologi penanggulangan bencana alam. Perlu ditekankan pula rangkaian kegiatan tersebut di atas dilakukan secara partisipatoris, bersama oleh dan untuk masyarakat, bukan sekedar oleh para ahli dan aparat pemerintah.Ataukah  pemberdayaan
Pada manajemen bencana--khususnya terhadap bantuan darurat--dikenal dua model pendekatan yaitu pendekatan konvensional dan pendekatan pemberdayaan (Anderson & Woodrow, 1989). Perbedaan kedua pendekatan tersebut terutama terletak pada cara melihat kondisi korban, taksiran kebutuhan, kecepatan dan ketepatan, fokus pada bantuan yang diberikan serta target akhir pendekatan konvensional, korban dianggap tidak berdaya dan membutuhkan barang yang harus kita berikan. Terhadap kebutuhan itu pun harus ditaksir secara cepat dan umum. Dalam pendekatan ini, kebutuhan dianggap begitu mendesak sehingga kecepatan dan efisiensi adalah prioritas, tidak ada waktu untuk melibatkan masyarakat setempat. Fokus utama dari pendekatan ini adalah benda fisik dan material dengan tujuan akhir adalah agar keadaan kembali normal seperti sebelum terjadinya bencana alam.Sebaliknya, pada pendekatan pemberdayaan, korban merupakan manusia yang aktif dengan berbagai kemampuan dan kapasitas. Dengan demikian, penaksiran kebutuhan dapat dilakukan seksama dengan memperhatikan kapasitas yang ada. Karena itu, pendekatan ini menekankan bahwa sejak awal sudah harus mempertimbangkan dampak jangka panjang dari bantuan luar yang mengalir serta harus menghormati gagasan dan kapasitas yang ada pada masyarakat setempatYang perlu ditekankan pada pendekatan pemberdayaan ini adalah walaupun kita memberikan benda-benda fisik dan material yang dibutuhkan, pemberian itu tetap harus mendukung kapasitas dan sisi sosial atau kelembagaan serta sisi sikap atau motivasi masyarakat setempat. Tujuan utama dari pendekatan pemberdayaan ini adalah mengurangi kerentanan dalam jangka panjang dan untuk mendukung peningkatan kapasitas masyarakat lokaly style="text-align: justify;">
Eksternal Ataukah internalDalam manajemen penanggulangan bencana juga dikenal adanya dua mekanisme. Pertama, mekanisme internal, yaitu pola penanggulangan bencana yang dilakukan unsur-unsur masyarakat di lokasi bencana, baik berupa keluarga, organisasi sosial, dan masyarakat lokal. Mekanisme itu dikenal sebagai mekanisme penanggulangan bencana secara alamiah. Kedua, mekanisme eksternal, yaitu penanggulangan bencana dengan melibatkan unsur-unsur di luar unsur-unsur yang terlibat dalam mekanisme internal.
Apabila diperhatikan, penanggulangan bencana saat ini umumnya menggunakan pendekatan konvensional dan dilakukan dengan mekanisme eksternal. Rencana kegiatan penanggulangan bencana (pada tahap-tahap pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, rehabilitasi, hingga rekonstruksi) lebih memosisikan masyarakat yang terkena bencana sebagai objek
>Pelaksanaan rangkaian penanggulangan bencana selama ini nampak kurang melibatkan masyarakat yang terkena bencana dan tidak memperhatikan potensi masyarakat yang menjadi korban. Jika dicermati lebih jauh lagi, perlengkapan baku dalam kegiatan manajemen terdiri dari perlengkapan operasional yang mungkin aneh buat masyarakat. Padahal, sangat mungkin, masyarakat setempat dengan kearifan lokal yang mereka warisi turun-temurun telah memiliki seperangkat alat yang lebih tepat guna bagi mereka pihak untuk membuat masyarakat yang rentan lebih berkapasitas. Dengan tujuan, membuat masyarakat yang rentan mampu mengatasi semua ancaman agar tidak menjadi bencana. Kapasitas masyarakat yang kuat akan menempatkan ancaman tetap sebagai ancaman, tidak sebagai bencana yang meluluhlantakkan semua perikehidupan masyarakat

Tentu sangat tidak manusiawi dan tidak bijak bila penanggulangan bencana alam justru berdampak meninggalkan masyarakat lokal, menisbikan keberadaan mereka karena tidak sesuai dengan keinginan pelaku penanggulangan bencana. Karena itu, manajemen bencana berbasis masyarakat harus dilakukan dengan mekanisme internal, yaitu mendudukkan masyarakat sebagai subjek. Manajemen itu tidak menempatkan masyarakat pada posisi lemah, bodoh, dan salah .Metode partisipatif merupakan salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendukung mekanisme internal. Wujud nyata dari konsep ini adalah perlunya lembaga-lembaga pemerintah, swasta dan swadaya masyarakat mendukung proses peningkatan potensi yang ada, sekaligus upaya mengurangi kerentanan mereka. Namun, setelah masyarakat memiliki potensi yang cukup, biarkan masyarakat menentukan.
Berdasarkan beberapa pengalaman kami, perlu segera dilakukan identifikasi sembari memberikan dukungan kepada masyarakat korban bencana alam. Upaya identifikasi riil tersebut dilakukan agar dapat secara tepat melakukan langkah-langkah berikutnya.Langkah-langkah implementasi harus meliputi tahapan-tahapan, pertama, menganalisa kebutuhan jangka pendek untuk memperingan dampak bencana pada saat itu. Kedua, menganalisa potensi masyarakat serta membangun potensi dalam menghadapi bencana di masa mendatang. Ketiga, menyiapkan desain/model penanganan bencana di masa mendatang. Dan keempat, mempersiapkan data advokasi untuk desain penataan kawasan dan penanganan masalah yang mungkin muncul pascabencana alam.

Manajemen Bencana Berbasis Masyarakat


Manajemen Bencana Berbasis Masyarakat
Ditulis oleh : TAGANA INDONESIA 16.06.0458

Awal tahun 2009, Pulau Papua dan beberapa pulau lain di Indonesia kembali diguncang gempa. Berbagai daerah di Indonesia memang rawan gempa.

Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat 28 wilayah di Indonesia merupakan daerah rawan gempa dan tsunami. Di antaranya Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jateng, dan DIY bagian selatan, Jatim bagian selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak, Yapen dan Fak-Fak di Papua serta Balikpapan Kalimantan Timur.

Berbasis masyarakat

Bencana alam sering kali dianggap sebagai sesuatu yang harus terjadi. Gempa bumi, erupsi gunung api, tanah longsor, gelombang pasang, kekeringan, banjir dan lainnya merupakan kondisi alam yang melekat pada bumi kita. Sampai saat ini, manusia belum mampu menghentikan munculnya bahaya tersebut. Bukan hanya karena kekuatannya yang luar biasa, melainkan juga karena waktu terjadinya sulit ditentukan secara tepat.

Berbagai peristiwa bencana alam menunjukkan bahwa ukuran suatu bencana alam sangat besar sehingga manusia tidak memiliki makna terhadap bencana tersebut. Namun di sisi lain, manusia mempunyai kemampuan untuk mengenali dan memahami bencana tersebut. Tindakan tersebut merupakan salah satu upaya untuk menekan tingkat kerugian yang ditimbulkan akibat terjadinya bencana alam, atau sering disebut sebagai bagian dari manajemen bencana.

Tindakan manajemen bencana merupakan bagian penting dan strategis bagi aksi kemanusiaan. Karena itu, tujuan manajemen bencana alam adalah meningkatkan kesadaran umat manusia akan bahaya bencana alam. Melalui manajemen ini, masyarakat diberikan pemahaman yang lebih baik mengenai bencana alam sehingga dapat menekan jumlah korban jiwa dan harta benda melalui kemampuan teknologi dan manajemen.

Pembangunan kemampuan penanganan bencana ditekankan pada peningkatan kemampuan masyarakat, khususnya masyarakat pada kawasan rawan bencana agar secara dini dapat mengurangi ancaman tersebut. Upaya ini umumnya berpangkal pada tindakan penumbuhan dan pemberdayaan kemampuan masyarakat dalam menangani serta menekan jumlah korban jiwa maupun harta benda akibat bencana.

Untuk mencapai kondisi tersebut, perlu langkah-langkah pengenalan jenis bencana alam, pemetaan daerah rawan, zonasi daerah bahaya bencana dan prakiraan risiko, pengenalan sosial budaya masyarakat daerah rawan bencana, penyusunan prosedur dan tata cara penanganan bencana, pemasyarakatan kesiagaan dan peningkatan kemampuan penanggulangan bencana, mitigasi fisik, dan pengembangan teknologi penanggulangan bencana alam. Perlu ditekankan pula rangkaian kegiatan tersebut di atas dilakukan secara partisipatoris, bersama oleh dan untuk masyarakat, bukan sekedar oleh para ahli dan aparat pemerintah.

Konvensional  Ataukah  pemberdayaan

Pada manajemen bencana--khususnya terhadap bantuan darurat--dikenal dua model pendekatan yaitu pendekatan konvensional dan pendekatan pemberdayaan (Anderson & Woodrow, 1989). Perbedaan kedua pendekatan tersebut terutama terletak pada cara melihat kondisi korban, taksiran kebutuhan, kecepatan dan ketepatan, fokus pada bantuan yang diberikan serta target akhir.

Pada pendekatan konvensional, korban dianggap tidak berdaya dan membutuhkan barang yang harus kita berikan. Terhadap kebutuhan itu pun harus ditaksir secara cepat dan umum. Dalam pendekatan ini, kebutuhan dianggap begitu mendesak sehingga kecepatan dan efisiensi adalah prioritas, tidak ada waktu untuk melibatkan masyarakat setempat. Fokus utama dari pendekatan ini adalah benda fisik dan material dengan tujuan akhir adalah agar keadaan kembali normal seperti sebelum terjadinya bencana alam.

Sebaliknya, pada pendekatan pemberdayaan, korban merupakan manusia yang aktif dengan berbagai kemampuan dan kapasitas. Dengan demikian, penaksiran kebutuhan dapat dilakukan seksama dengan memperhatikan kapasitas yang ada. Karena itu, pendekatan ini menekankan bahwa sejak awal sudah harus mempertimbangkan dampak jangka panjang dari bantuan luar yang mengalir serta harus menghormati gagasan dan kapasitas yang ada pada masyarakat setempat.

Yang perlu ditekankan pada pendekatan pemberdayaan ini adalah walaupun kita memberikan benda-benda fisik dan material yang dibutuhkan, pemberian itu tetap harus mendukung kapasitas dan sisi sosial atau kelembagaan serta sisi sikap atau motivasi masyarakat setempat. Tujuan utama dari pendekatan pemberdayaan ini adalah mengurangi kerentanan dalam jangka panjang dan untuk mendukung peningkatan kapasitas masyarakat lokal.

Eksternal Ataukah internal

Dalam manajemen penanggulangan bencana juga dikenal adanya dua mekanisme. Pertama, mekanisme internal, yaitu pola penanggulangan bencana yang dilakukan unsur-unsur masyarakat di lokasi bencana, baik berupa keluarga, organisasi sosial, dan masyarakat lokal. Mekanisme itu dikenal sebagai mekanisme penanggulangan bencana secara alamiah. Kedua, mekanisme eksternal, yaitu penanggulangan bencana dengan melibatkan unsur-unsur di luar unsur-unsur yang terlibat dalam mekanisme internal.

Apabila diperhatikan, penanggulangan bencana saat ini umumnya menggunakan pendekatan konvensional dan dilakukan dengan mekanisme eksternal. Rencana kegiatan penanggulangan bencana (pada tahap-tahap pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, rehabilitasi, hingga rekonstruksi) lebih memosisikan masyarakat yang terkena bencana sebagai objek.

Pelaksanaan rangkaian penanggulangan bencana selama ini nampak kurang melibatkan masyarakat yang terkena bencana dan tidak memperhatikan potensi masyarakat yang menjadi korban. Jika dicermati lebih jauh lagi, perlengkapan baku dalam kegiatan manajemen terdiri dari perlengkapan operasional yang mungkin aneh buat masyarakat. Padahal, sangat mungkin, masyarakat setempat dengan kearifan lokal yang mereka warisi turun-temurun telah memiliki seperangkat alat yang lebih tepat guna bagi mereka.

Adalah kewajiban semua pihak untuk membuat masyarakat yang rentan lebih berkapasitas. Dengan tujuan, membuat masyarakat yang rentan mampu mengatasi semua ancaman agar tidak menjadi bencana. Kapasitas masyarakat yang kuat akan menempatkan ancaman tetap sebagai ancaman, tidak sebagai bencana yang meluluhlantakkan semua perikehidupan masyarakat.

Tentu sangat tidak manusiawi dan tidak bijak bila penanggulangan bencana alam justru berdampak meninggalkan masyarakat lokal, menisbikan keberadaan mereka karena tidak sesuai dengan keinginan pelaku penanggulangan bencana. Karena itu, manajemen bencana berbasis masyarakat harus dilakukan dengan mekanisme internal, yaitu mendudukkan masyarakat sebagai subjek. Manajemen itu tidak menempatkan masyarakat pada posisi lemah, bodoh, dan salah .

Metode partisipatif merupakan salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendukung mekanisme internal. Wujud nyata dari konsep ini adalah perlunya lembaga-lembaga pemerintah, swasta dan swadaya masyarakat mendukung proses peningkatan potensi yang ada, sekaligus upaya mengurangi kerentanan mereka. Namun, setelah masyarakat memiliki potensi yang cukup, biarkan masyarakat menentukan.

Implementasi

Berdasarkan beberapa pengalaman kami, perlu segera dilakukan identifikasi sembari memberikan dukungan kepada masyarakat korban bencana alam. Upaya identifikasi riil tersebut dilakukan agar dapat secara tepat melakukan langkah-langkah berikutnya.

Langkah-langkah implementasi harus meliputi tahapan-tahapan, pertama, menganalisa kebutuhan jangka pendek untuk memperingan dampak bencana pada saat itu. Kedua, menganalisa potensi masyarakat serta membangun potensi dalam menghadapi bencana di masa mendatang. Ketiga, menyiapkan desain/model penanganan bencana di masa mendatang. Dan keempat, mempersiapkan data advokasi untuk desain penataan kawasan dan penanganan masalah yang mungkin muncul pascabencana alam.

Karateristik Bencana

Bencana merupakan fenomena yang terjadi karena beberapa komponen pemicu, ancaman, dan kerentanan bekerja bersama secara sistematis. Ada beberapa pemahaman yang perlu dipertegas sebelum melihat kasus per kasus dari berbagai bencana yang terjadi akhir akhir ini. Yakni Dari sisi manajemen bencana (Disaster management), yaitu relasi antara bencana (disaster), pemicu (trigger), ancaman (hazard), kerentanan (vulnerability) dan risiko (risk ).

Sementara Negara Indonesia masih belum siap dan mampu menghadapi serta menangani kejadian-kejadian bencana skala besar dan menengah. Setidaknya, di level software (disaster Management) dan level hardware (Insfatruktur Fisik), serta permasalahan kesiapan kelembagaan bencana, kapasitas dana, infrastruktur kebijakan, ketiadaan perencanaan kontingensi bencana di level propinsi dan kabupaten, sarana dan prasarana memang belum siap untuk bencana besar Yang akan datang.



Godaan politis untuk “mengalamiahkan sebuah bencana” yang sesungguhnya anthropogenic akan terus dilakukan seiring dengan ketidak siapan pemerintah dalam mengalokasi sumber daya nasional dan lokal yang tepat dalam penanggulangan bencana. Bencana tidak pernah terjadi tiba-tiba. Gempa bisa tiba-tiba terjadi, tetapi jarak antara gempa dan bencana cukup panjang. Banjir dan tanah longsor bukan bencana yang tiba-tiba dan diperlukan proses yang panjang dan bukan karena faktor hujan semata, namun Politik dan kekuasaan yang didukung technical science dengan visi social-humanis yang kerdillah yang membuat sebuah bencana seolah terjadi menjadi serba mendadak.

Belajar dari pengalaman bencana sebelumnya, serta dengan adanya “International Disaster Reduction Day 2004” dan Undang Undang Disaster international, maka pemerintah dan masyarakat Indonesia belum sepenuhnya menerapkan hal tersebut. walaupun reformasi telah bergulir 9 tahun, dan ketika kita lihat angka angka yang menakjubkan dalam lingkaran bencana seperti halnya : lebih dari 170,000 orang meninggal dunia, lebih 1.000.000 orang menjadi pengungsi internal, jumlah lapangan kerja yang hilang mencapai ratusan ribu, lebih dari 140 Triliun Rupiah kerugian langsung, membuat penduduk yang tidak miskin menjadi miskin, dan yang miskin turun peringkat ke sangat miskin dengan estimasi kerugian ekonomi Indonesia sedikitnya telah kehilangan lebih dari 14 triliun Rupiah, yang seharusnya bisa dipakai untuk investasi pelayanan social dasar dan pengurangan kemiskinan.

Ledakan misterius itu adalah meteor

Terkait ledakan keras terdengar selama empat hari di Desa Tanjung Sari, Sumedang, Jawa Barat pakar astronomi menduga hal itu terjadi karena adanya fenomena geologi.

“Kami sudah mendapat laporan, memang ada empat kali kejadian selama empat hari. Itu jelas tidak mungkin dari meteor,” kata Peneliti Utama Astronomi-Astrofisika, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan), Thomas Djamaluddin, Rabu (28/4).

Menurut pakar astronomi yang kerap disapa Djamaluddin ini, tidak ada fenomena antariksa dalam kejadian di Sumedang. Djamaluddin sudah mendapat informasi dari Kepala Stasiun Pengamatan Dirgantara di Tanjung Sari.

“Kemungkinan ada fenomena geologis di wilayah itu. Sudah ada hasil tes awalnya. Sepertinya ada semacam fenomena di bawah tanah. Semacam seperti gempa lokal,” ujar profesor riset itu.

Kendati demikian, Djamaluddin tidak bisa menjelaskan fenomena geologis apa yang sedang terjadi. Tim geologis yang sedang meneliti kejadian itu, kata dia, sudah mengeluarkan laporan awal.

Seperti diketahui, ledakan keras dirasakan tiga desa di Kecamatan Tanjung Sari, Sumedang. Ledakan terjadi selama empat kali. Sejak Sabtu malam (24 April), Minggu pagi (25 April), Senin malam (26 April) dan hari ini Rabu pagi.

Belum diketahui pasti sumber leledakan misterius itu. Namun, rumah salah seorang warga retak bagian temboknya akibat getaran keras.

Ledakan misterius itu adalah meteor

Terkait ledakan keras terdengar selama empat hari di Desa Tanjung Sari, Sumedang, Jawa Barat pakar astronomi menduga hal itu terjadi karena adanya fenomena geologi.

“Kami sudah mendapat laporan, memang ada empat kali kejadian selama empat hari. Itu jelas tidak mungkin dari meteor,” kata Peneliti Utama Astronomi-Astrofisika, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan), Thomas Djamaluddin, Rabu (28/4).

Menurut pakar astronomi yang kerap disapa Djamaluddin ini, tidak ada fenomena antariksa dalam kejadian di Sumedang. Djamaluddin sudah mendapat informasi dari Kepala Stasiun Pengamatan Dirgantara di Tanjung Sari.

“Kemungkinan ada fenomena geologis di wilayah itu. Sudah ada hasil tes awalnya. Sepertinya ada semacam fenomena di bawah tanah. Semacam seperti gempa lokal,” ujar profesor riset itu.

Kendati demikian, Djamaluddin tidak bisa menjelaskan fenomena geologis apa yang sedang terjadi. Tim geologis yang sedang meneliti kejadian itu, kata dia, sudah mengeluarkan laporan awal.

Seperti diketahui, ledakan keras dirasakan tiga desa di Kecamatan Tanjung Sari, Sumedang. Ledakan terjadi selama empat kali. Sejak Sabtu malam (24 April), Minggu pagi (25 April), Senin malam (26 April) dan hari ini Rabu pagi.

Belum diketahui pasti sumber leledakan misterius itu. Namun, rumah salah seorang warga retak bagian temboknya akibat getaran keras.

para astronomy geplogy Terkait ledakan keras terdengar selama empat hari di Desa Tanjung Sari, Sumedang, Jawa Barat pakar astronomi menduga hal itu terjadi karena adanya fenomena geologi. “Kami sudah mendapat laporan, memang ada empat kali kejadian selama empat hari. Itu jelas tidak mungkin dari meteor,” kata Peneliti Utama Astronomi-Astrofisika, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan), Thomas Djamaluddin, Rabu (28/4). Menurut pakar astronomi yang kerap disapa Djamaluddin ini, tidak ada fenomena antariksa dalam kejadian di Sumedang. Djamaluddin sudah mendapat informasi dari Kepala Stasiun Pengamatan Dirgantara di Tanjung Sari. “Kemungkinan ada fenomena geologis di wilayah itu. Sudah ada hasil tes awalnya. Sepertinya ada semacam fenomena di bawah tanah. Semacam seperti gempa lokal,” ujar profesor riset itu. Kendati demikian, Djamaluddin tidak bisa menjelaskan fenomena geologis apa yang sedang terjadi. Tim geologis yang sedang meneliti kejadian itu, kata dia, sudah mengeluarkan laporan awal. Seperti diketahui, ledakan keras dirasakan tiga desa di Kecamatan Tanjung Sari, Sumedang. Ledakan terjadi selama empat kali. Sejak Sabtu malam (24 April), Minggu pagi (25 April), Senin malam (26 April) dan hari ini Rabu pagi. Belum diketahui pasti sumber leledakan misterius itu. Namun, rumah salah seorang warga retak bagian temboknya akibat getaran keras.

Terkait ledakan keras terdengar selama empat hari di Desa Tanjung Sari, Sumedang, Jawa Barat pakar astronomi menduga hal itu terjadi karena adanya fenomena geologi.

“Kami sudah mendapat laporan, memang ada empat kali kejadian selama empat hari. Itu jelas tidak mungkin dari meteor,” kata Peneliti Utama Astronomi-Astrofisika, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan), Thomas Djamaluddin, Rabu (28/4).

Menurut pakar astronomi yang kerap disapa Djamaluddin ini, tidak ada fenomena antariksa dalam kejadian di Sumedang. Djamaluddin sudah mendapat informasi dari Kepala Stasiun Pengamatan Dirgantara di Tanjung Sari.

“Kemungkinan ada fenomena geologis di wilayah itu. Sudah ada hasil tes awalnya. Sepertinya ada semacam fenomena di bawah tanah. Semacam seperti gempa lokal,” ujar profesor riset itu.

Kendati demikian, Djamaluddin tidak bisa menjelaskan fenomena geologis apa yang sedang terjadi. Tim geologis yang sedang meneliti kejadian itu, kata dia, sudah mengeluarkan laporan awal.

Seperti diketahui, ledakan keras dirasakan tiga desa di Kecamatan Tanjung Sari, Sumedang. Ledakan terjadi selama empat kali. Sejak Sabtu malam (24 April), Minggu pagi (25 April), Senin malam (26 April) dan hari ini Rabu pagi.

Belum diketahui pasti sumber leledakan misterius itu. Namun, rumah salah seorang warga retak bagian temboknya akibat getaran keras.

BAnjir Bandang di medan

di warta ulang : ibrahim da silva 16060458.

Medan: Lima warga Kecamatan Sitio-Tio, Kabupaten Samosir, hanyut dalam banjir bandang yang terjadi pada Kamis malam sekitar pukul 21.00 WIB. Kabid Humas Polda Sumut Kombes Pol Baharudin Djafar di Medan, Jumat (30/4), mengatakan, lima warga yang hanyut itu adalah Marsaulina boru Situmorang (15), Lidya boru Tamba (48), Marintan Rumada Situmorang (4), Pegang Hasudungan Situmorang (9) dan Samuel Aldo Situmorang (10).

Dalam pencarian awal petugas kepolisian dibantu aparatur di jajaran Pemkab Samosir berhasil menemukan Marsaulina boru Situmorang yang telah meninggal dunia. Sedangkan empat warga lain belum ditemukan. Ia menjelaskan, banjir bandang itu terjadi di dua desa, yakni Desa Rangsang Bosi dan Desa Sibulan yang disebabkan meluapnya Sungai Sitorang Nabolon setelah menerima curah hujan yang cukup tinggi.

Selain menghanyutkan lima warga, banjir bandang juga menyebabkan kerugian materi karena rusaknya sejumlah rumah dan infrastruktur desa. Berdasarkan pendataan sementara, satu rumah semi permanen rusak berat dan empat jembatan serta sebuah kendaraan roda dua hanyut di Desa Sibulan.

Sedangkan di Desa Rangsang Besi tercatat empat rumah rusak berat akibat dihantam banjir bandang dari sungai selebar 30 meter tersebut. Pihaknya telah memerintah personel Polres Samosir untuk terus melakukan pencarian terhadap empat warga yang hanyut akibat banjir bandang itu. Pihak kepolisian juga telah mendirikan beberapa posko bantuan untuk menolong warga yang menjadi korban banjir bandang bekerja sama dengan pemerintah setempat

Semua satuan satuan penanggulangan bencana kab trenggalek spt (Tim SAR, TAGANA, SATGANA, BAKESBANG LINMAS, BPBD Kab.Trenggalek

Semua satuan satuan penanggulangan bencana kab trenggalek spt (Tim SAR, TAGANA, SATGANA, BAKESBANG LINMAS, BPBD Kab.Trenggalek
Bagikan
TRENGGALEK. Semua satuan satuan penanggulangan bencana kab trenggalek spt (Tim SAR, TAGANA, SATGANA, BAKESBANG LINMAS, BPBD Kab.Trenggalek ) Kamis (6/5), melanjutkan proses pencarian korban hilang akibat banjir bandang yang menerjang empat kecamatan di Kabupaten Trenggalek, Jatim, pada Rabu (5/5).

"Sampai detik ini, dua warga masih hilang. Dua lainnya sudah ditemukan tapi sudah dalam kondisi tidak bernyawa," kata Kasi Penanggulangan Bencana pada Kantor Kesbangpol Linmas Kabupaten Trenggalek Maryono, di Tenggalek, Kamis.

Dua warga yang tewas akibat terseret arus banjir tersebut adalah Yatemi, 70, dan Ropingah, 35. Warga Desa Gembleb, Kecamatan Pogalan itu telah diangkat dari gundukan tanah tak jauh dari rumahnya.

Mereka diduga sempat terseret air saat banjir yang datang dari arah lereng Gunung Rajekan Wesi menghantam pemukiman mereka. "Sebagian warga tidak sempat menyelamatkan diri saat air bah dalam volume sangat besar menerjang," papar Maryono.

Sementara, dua warga yang masih hilang dan diyakini ikut menjadi korban tewas adalah Muji, 85, dan Tambir, 85.

Saat banjir datang, sejumlah saksi mengatakan keduanya masih berada di dalam rumah. Kiriman air bah setinggi dua meter lebih menghanyutkan rumah mereka hingga rata dengan tanah.

"Tubuh kedua kakek ini belum diketahui rimbanya. Besar kemungkinan mereka tewas karena ketinggian air yang menerjang rumah mereka dilaporkan mencapai dua meter lebih," kata seorang warga menambahkan.

Belum diketahui jumlah rumah yang rusak akibat bencana alam kali ini. Pemerintah Kabupaten Trenggalek melalui dinas terkait hingga Kamis masih melakukan pendataan kerugian yang ditimbulkan banjir bandang tersebut.

"Kami masih akan hitung. Yang terpenting saat ini dilakukan adalah menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan, terutama penduduk," kata Bupati Trenggalek Soeharto
From: ARRL
Subject: ARLD019 DX news
To: ab2qv@yahoo. com
Date: Thursday, May 13, 2010, 6:36 PM

SB DX @ ARL $ARLD019
ARLD019 DX news

ZCZC AE19
QST de W1AW
DX Bulletin 19 ARLD019
From ARRL Headquarters
Newington CT May 13, 2010
To all radio amateurs

SB DX ARL ARLD019
ARLD019 DX news

This week's bulletin was made possible with information provided by
NC1L, PA1H, QRZ DX, The Daily DX, the OPDX Bulletin, DXNL, Contest
Corral from QST and the ARRL Contest Calendar and WA7BNM web sites.
Thanks to all.

EQUATORIAL GUINEA, 3C. Elmo, EA5BYP and Javi, EA5KM will be QRV as
3C9B from Bioko Island, IOTA AF-010, for a few days. Activity is on
the HF bands using CW, SSB and RTTY. QSL via EA7FTR.

ALGERIA, 7X. Some members of the Great Desert of the World Djelfa
Amateur Radio Club will be QRV as 7U3GDW from May 17 to 22. QSL via
7X2DD.

BURUNDI, 9U. Stef, ON4FG and Eric, ON4LN are QRV as 9U4T and 9U2T,
respectively, until May 19. Activity is holiday style on 80 to 10
meters, and possibly 6 meters if conditions permit, using CW, SSB,
RTTY and PSK. QSL to home calls.

PORTUGAL, CT. Look for members of the Algarve Star DX Team to be
QRV as CQ72LHA, CQ72LHM, CQ72LHP, CQ72LHR, CQ72LHV and CQ72LHZ from
all six lighthouses on Algarve on May 15 and 16. QSL all calls via
CT2HTN.

ANGOLA, D2. Andrew, G7COD is QRV as D2AK from Luanda and is here
for the next twelve months. Activity is on 80 to 10 meters using CW
and SSB. QSL direct to home call.

ITALY, I. Tomi, HA4DX will be QRV as IA5/homecall from Elba Island
and Capraia Island, both IOTA EU-028, on May 15 and 16. QSL to home
call.

ETHIOPIA, ET. Sid, ET3SID has been QRV on 20 meters using SSB
between 0330 and 0600z. QSL direct to home call.

GUINEA-BISSAU, J5. Dan, JA1PBV is QRV as J5V/p while on work
assignment and is active until May 24. Activity of late has been on
30 and 17 meters using CW. QSL to home call.

ALAND ISLANDS, OH0. Operators PA2A, PA2AM, PA2VMA, PA3ALK, PA3BAG,
PA0VHA and PB5A will be QRV as OH0/homecalls from Eckero Island,
IOTA EU-002, from May 15 to 28. Activity will be on all HF bands,
including 6 meters, using CW, SSB and RTTY with four stations active
simultaneously. QSL to home calls.

DENMARK, OZ. Harry, PA1H and Nico, PA7PA will be QRV as
OZ/homecalls from Langoe Island, IOTA EU-172, from May 15 to 24.
Activity will be on 80 to 10 meters, and possibly 6 and 2 meters
propagation permitting, using all modes. QSL to home calls.

TURKEY, TA. A group of operators will be QRV as TC70DX from Suluada
Island, IOTA AS-115, from May 15 to 19. They will be QRV with two
stations active simultaneously on 40 to 6 meters using CW and SSB.
QSL via OK2GZ.

CORSICA, TK. Tomi, HA4DX will be QRV as TK/homecall from Corsica,
IOTA EU-014, and Giraglia Island, IOTA EU-164, from May 17 to 19.
QSL to home call.

CENTRAL AFRICA, TL. Jan, DJ8NK and Paul, F6EXV are QRV from the QTH
of TL0A until May 26. Activity is mainly on 40 to 6 meters using
RTTY. They may also be active on 160 and 80 meters if conditions
permit. QSL direct to TL0A.

MACQUARIE ISLAND, VK0. Denis, ZL4DB is QRV as VK0/homecall for the
next three months while on work assignment. He is active in his
spare time using SSB. QSL via ZL4PW.

VIETNAM, XV. Larry, W6NWS will be QRV as XV2W from May 15 to June
9. This includes entries in the upcoming CQ WPX CW and SEANET
contests. QSL to home call.

OPERATION APPROVED FOR DXCC CREDIT. The following operation is
approved for DXCC credit: Iraq, YI9PSE, 2010 operation.

THIS WEEKEND ON THE RADIO. His Majesty King of Spain CW Contest,
NCCC Sprint, Manchester Mineira All America CW Contest, Feld Hell
Sprint and WAB LF Phone contest are all on tap for this weekend.
The Run for the Bacon QRP CW Contest is scheduled for May 17.
Please see May QST, page 78, and the ARRL and WA7BNM contest web
sites for details.
NNNN
/EX
Sepuluh kecamatan di Sumatera Barat berpotensi banjir bandang dan longsor pada bulan Mei 2010 ini. Demikian peringatan yang dikeluarkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral awal Mei ini.

Dari 10 kecamatan itu, 7 terletak di Kabupaten Padangpariaman dan 3 di Kabupaten Agam. Curah hujan di atas normal bisa menyebabkan banjir bandang selain berpotensi terjadi gerakan tanah dari skala menengah hingga tinggi.

Tujuh kecamatan di Padangpariaman itu adalah Sungai Limau, Sungai Garingging, IV Koto Aur Malintang, V Koto Kampung Dalam, Lubuk Alung, VII Koto Bagian Utara, dan Batang Anai.

Sedangkan 3 kecamatan di Kabupaten Agam adalah IV Angkat Candung, Banuhampu Sei Puar, dan Lubuk Basung.

Sementara 51 kecamatan berada di zona Menengah hingga Tinggi berpotensi longsor. Terbanyak di Kota Padang (8 kecamatan) dan Pesisir Selatan (8 kecamatan). Kemudian Kabupaten Solok dan Solok Selatan (7), Pasaman dan Pasaman Barat (6), Agam (5), Tanah Datar 5, Sawahlunto (3), Limapuluh Kota (3), Sijunjung (2), Mentawai (2), dan Dharmasraya (1).


Zona Tinggi adalah daerah yang mempunyai potensi Tinggi untuk terjadi Gerakan Tanah. Pada Zona ini dapat terjadi Gerakan Tanah jika curah hujan di atas normal. Sedangkan gerakan tanah lama dapat aktif kembali.

Zona Menengah adalah potensi Menangah terjadi Gerakan Tanah. Pada Zona ini dapat terjadi gerakan tanah jika curah hujan di atas normal, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan atau jika lereng mengalami gangguan.

Sementara, 38 lainnya di beberapa kota dan kabupaten berpotensi Menengah terjadi longsor atau gerakan tanah.

Setiap awal bulan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi mengeluarkan daftar wilayah berpotensi gerakan tanah di seluruh Indonesia. April 2010 daftar kecamatan di Sumatera Barat yang termasuk berpotensi banjir bandang lebih banyak.

Mengenali Semeru sebelum terjadi bencana Vulkanologi

Gunung Semeru...,- memiliki ketinggian 3.676 meter dari permukaan laut (mdpl) menunjukkan peningkatan aktivitas selama sepekan terakhir. Aktivitas Gunung Semeru yang mengalami peningkatan membuat jalur pendakian ke Gunung Tertinggi di Pulau Jawa ini ditutup total. Penutupan total jalur pendakian ini dilakukan hingga akhir Maret 2010.

Sejak Jumat (5/3) sore, aktivitas letusan di Gunung Semeru terus mengalami peningkatan. Pertumbuhan kubah lava terus meningkat, sehingga terbentuk lidah lava sepanjang 700 meter dari bibir kawah Semeru dengan posisi hulu di Sungai Besuk Kembar. Lidah lava tersebut menjadi guguran lava pijar yang akan mengalir ke Besuk Kembar. Sampai saat ini kegempaan letusan di Gunung Semeru sudah di atas 70 kali per hari.

Meski tidak perlu panik, masyarakat yang tinggal di sekitar 4 kilometer sebelah tenggara kawah Jonggring Saloko (nama lain kawah Gunung Semeru) diminta mewaspadai guguran lava. Wilayah yang berpotensi terkena ancaman material vulkanik, baik awan panas maupun lahar adalah Desa Pronojiwo, Desa Sumber Urip, Desa Supit Urang. Ketiga desa tersebut berada di Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang.

Gunung Semeru terletak di antara wilayah administrasi Kabupaten Malang dan Lumajang. Pada tahun 1913 dan 1946 kawah Jonggring Saloko memiliki kubah dengan ketinggian 3.744,8 meter hingga akhir November 1973. Di sebelah selatan, kubah ini mendobrak tepi kawah dan menyebabkan aliran lahar mengarah ke sisi selatan meliputi daerah Pronojiwo dan Candipuro Kab. Lumajang. Terakhir, letusan Semeru terjadi pada 2008.